Menguras Racun Narkoba

RUMAH sakit apa yang kini paling "favorit", banyak diserbu pasien— sehingga, untuk memasukinya, pasien rela masuk dalam daftar tunggu dulu? Rumah sakit tempat merawat pecandu narkotik dan obat berbahaya (narkoba). Lihat saja Rumah Sakit Ketergantungan Obat (RSKO) Fatmawati, Jakarta. Setiap hari, puluhan pecandu narkoba datang dengan kondisi memprihatinkan tapi tak bisa ditampung. Mereka terpaksa menunggu giliran masuk. "Apa anak saya disuruh nunggu sampai mati?" kata seorang ibu, khawatir.

Seorang ibu pecandu narkotik lainnya—yang juga tak bisa memasukkan anaknya ke RSKO Fatmawati—memilih segera melarikan anaknya ke tempat praktek seorang psikiater di bilangan Jakarta Selatan. 

Kondisi anaknya, Zaenal, yang sebelum dibawa ke rumah sakit sempat kejang-kejang, memang memprihatinkan. Sepanjang perjalanan bermobil menuju ke tempat sang psikiater, pengguna narkotik sejak dua tahun lalu itu tampak gelisah: berbicara sendiri, sesekali mencoba melafalkan beberapa potong ayat Alquran, atau menampar ibunya. "Begitulah kalau dia lagi sakaw (nagih). Dia enggak takut sama ibunya. 

Kalau ditanya, maunya bunuh diri saja. Bingung saya," ujar sang ibu, sedih.

Sesampai di tempat praktek dokter, Zaenal dan ibunya kembali menghadapi antrean panjang pasien. Kebanyakan dari mereka adalah pecandu narkoba. Membeludaknya pasien memang tak hanya terjadi di RSKO Fatmawati, tapi juga di tempat perawatan pecandu narkoba lainnya. Padahal, perawatan pecandu kini juga bisa dilakukan di klinik-klinik kecil, seperti klinik Al-Jahu, Jakarta, yang cuma berkapasitas 12 pasien. 

Bagaimana tak demikian bila jumlah penderita ketergantungan narkoba terus meningkat? Lima tahun lalu, hanya ada 130 ribu pengguna narkoba, sedangkan kini melejit 10 kali lipat.

Direktur Utama RSKO Fatmawati, Sudirman, mengakui bahwa pihaknya tak sanggup berbuat banyak. Jumlah pasien tahun lalu melonjak lima kali lipat dibandingkan dengan tahun 1997. Padahal, kapasitas rawat inap rumah sakit ini cuma 38 tempat tidur.

Sebenarnya, hampir semua rumah sakit di kota besar punya layanan penanganan pecandu narkoba. Di Denpasar, ada tiga rumah sakit—Sanglah, Bangli, dan Nina Atma—yang memiliki unit khusus narkoba. Di Jawa Tengah, pasien bisa datang ke Rehabilitasi Ketergantungan Obat (RKO) Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Semarang. Namun, menurut Hanafi, Wakil Direktur RSJ Semarang, cuma sedikit pasien yang berobat di sini. Rupanya, citra rumah sakit jiwa—tempat RKO bernaung—membuat pasien enggan datang. "Khawatir dikira gila," kata Hanafi.

Di Medan, satu-satunya rumah sakit yang melayani pasien narkoba adalah RS Sembada. Menurut Direktur RS Sembada, Frans Bangun, setahun terakhir ini fasilitas rawat inap Sembada selalu penuh. Pasien Sembada umumnya berasal dari kalangan menengah ke bawah. "Mereka yang mampu langsung berobat ke Jakarta," kata Frans.

Jakarta memang muara berbagai jenis pengobatan pecandu narkoba. Cuma,ongkosnya memang tak murah. 

Untuk proses awal pengobatan, detoksifikasi, ongkosnya sudah jutaan rupiah (lihat tabel). Besar-kecilnya biaya bergantung pada metode yang digunakan. Metode "konvensional", yang umumnya berlangsung seminggu, jauh lebih murah ketimbang metode detoksifikasi cepat, yang prosesnya cuma berlangsung sekitar enam jam.

Di Indonesia, saat ini setidaknya ada tiga model pengobatan yang umum dipergunakan dokter. Selain model "konvensional" dan detoksifikasi cepat, ada metode yang diberi label "Metode Prof. Dadang Hawari"—nama seorang psikiater di Jakarta yang menciptakan metode tersebut.

Apa perbedaan berbagai model pengobatan itu? Pada detoksifikasi "konvensional" atau alamiah, terjadi gejala putus obat selama tujuh hari. Pada saat itu, pasien merasa persendian tulangnya linu, kepala pusing berdenyut-denyut, dan badan menggigil sampai mengeluarkan keringat dingin. Rasa sakit yang menyiksa ketika sakaw inilah yang menyebabkan sebagian besar pasien gagal menyelesaikan proses detoksifikasi.

Para ahli lalu menciptakan metode yang tidak menyiksa, yang kini dikenal sebagai detoksifikasi cepat (rapid detoxification). Gejala sakaw pada metode ini sama sekali tak dirasakan pasien karena selama pengobatan mereka dibius. Metode ini pertama kali diperkenalkan pada Februari 1999 oleh Yayasan IQONI—yang beranggotakan dokter spesialis dari berbagai rumah sakit. Kini setidaknya ada tujuh rumah sakit di Jakarta yang menerapkan teknik itu.

Metode itu, selain mahal, sayangnya, hanya bisa dilakukan untuk pecandu putaw atau heroin. Agaknya, di sinilah kelebihan teknik Dadang Hawari, yang selain ongkosnya lebih miring, juga bisa diterapkan untuk kecanduan zat-zat lain seperti ganja, kokain, alkohol, dan amfetamin (shabu-shabu atau ekstasi). Pada metode Dadang, pasien diberi obat-obatan psikofarma, antidepresan, dan antinyeri yang bersifat tak menimbulkan ketagihan. Pasien yang menjalani terapi ini pun akan lebih banyak ditidurkan, tapi bukan dibius. 

Hanya, pada metode ini, pasien akan mengalami disorientasi atau hilang kesadaran, yang baru hilang pada hari ketiga atau keempat. Kesadaran penuh baru tercapai pada hari kelima atau keenam. Dan proses diakhiri para hari ketujuh setelah tes urine menunjukkan bebas dari narkoba.

Di Jakarta saat ini setidaknya ada empat rumah sakit—RS Agung, RS Indah Medika, RS Mitra Menteng Abadi, dan RS M.H. Thamrin—yang menerapkan metode detoksifikasi Dadang Hawari. Meski biayanya agak miring, masih banyak juga pasien yang enggan menjalani terapi ini karena umumnya mereka takut menghadapi gejala disorientasi.

Detoksifikasi sendiri barulah tahap awal dalam menyembuhkan pecandu. Meski tubuhnya sudah terbebas dari narkoba, sering pasien kambuh lagi karena ada sugesti untuk menggunakan heroin kembali. Untuk mencegah kekambuhan pada pecandu heroin, para dokter di sini biasa memberikan antagonis opiat, naltrexone—secara oral. Antagonis opiat yang harganya Rp 2 juta per 50 butir itu menyebabkan pasien tak dapat merasakan efek heroin lagi walaupun mereka memakainya.

Selain harus ada proses rehabilitasi lanjutan, dalam pengobatan penderita narkoba, pengawasan adalah faktor utama yang menentukan kesembuhan pasien. Sering faktor ini bahkan diabaikan oleh tempat rehabilitasi pecandu narkoba. Dony, pecandu narkoba, berkisah tentang pengalamannya di sebuah klinik di Galunggung, Tasikmalaya, Jawa Barat. Pasien dengan leluasa keluar-masuk lokasi tanpa pengawasan ketat. Akibatnya, "Gue makin hancur," kata Dony, "Tujuh bulan program, mutaw jalan terus." Padahal, klinik ini menarik ongkos Rp 1 juta per bulan.

Susahnya, klinik yang agaknya berorientasi bisnis seperti itu bukan cuma satu-dua. Menurut catatan Departemen Kesehatan, saat ini ada 4.761 sarana pengelolaan pecandu narkoba—meliputi rumah sakit, klinik, pusat kesehatan masyarakat, dan apotek. Setelah dievaluasi, terdapat 1.540 sarana yang tidak memenuhi standar minimal. Pada sarana-sarana ini, tingkat kebocoran penyaluran narkoba tergolong tinggi. Akhirnya, Departemen Kesehatan menerbitkan 416 surat peringatan, memberikan 27 peringatan keras, dan menutup kegiatan tiga klinik narkoba.

Sejauh ini, menurut Direktur Jenderal Pelayanan Medik, Sri Astuti Suparmanto, pemerintah sedang merintis standardisasi pengelolaan klinik narkoba. Yang bakal diatur meliputi prosedur, kualitas, dan tarif pengobatan—agar klinik narkoba tidak menjelma menjadi lahan bisnis tak terkendali yang hanya terjangkau kalangan berduit.

Biaya Detoksifikasi di Beberapa Rumah Sakit 
Nama Rumah SakitMetode
Detoksifikasi
Waktu
Detoksifikasi
Ongkos
RS Indah MedikaDadang HawariSatu mingguRp 3 juta
RS Agung Dadang HawariSatu minggu Rp 4 juta
RS Mitra Menteng AbadiDadang HawariSatu minggu Rp 3 juta
RS M.H. ThamrinDadang HawariSatu minggu Rp 6 juta
RS Mitra Keluarga, Jatinegara dan KemayoranDetoksifikasi cepatEnam jam Rp 11 juta
RS PGI CikiniDetoksifikasi cepat Enam jam Rp 11 juta
RS OngkomulyoDetoksifikasi cepat Enam jam Rp 11 juta
RS Internasional BintaroDetoksifikasi cepatEnam jam Rp 11 juta
RS Abdi WaluyoDetoksifikasi cepat

RS Budi AsihDetoksifikasi cepatEnam jamRp 6 juta
Klinik Al-Jahu--1-2 mingguRp 5 juta

Perbandingan Ongkos Detoksifikasi Konvensional

Nama Rumah SakitOngkos
RS Indah MedikaRp 1 juta
RS Agung Rp 1,5 juta
RS Mitra Menteng AbadiRp 1 juta
RS MH ThamrinRp 2 juta
RS Mitra Keluarga, Jatinegara dan KemayoranRp 2 juta
RS PGI CikiniRp 2 juta
RS OngkomulyoRp 2 juta
RS Internasional BintaroRp 2 juta
RS Abdi WaluyoRp 2 juta
RS Budi AsihRp 1 juta
RS Cipto Mangunkusumo Rp 800 ribu
RSKO Fatmawati Rp 1 juta

Mardiyah Chamim, Andari Karina Anom, Dwi Arjanto, Biro Jakarta, dan koresponden daerah
Tempo Online