Konsep Awal (Original Concept)
Metode Bobath pada awalnya memiliki konsep perlakuan yang didasarkan atas inhibisi aktivitas abnormal refleks (Inhibition of abnormal reflex activity) dan pembelajaran kembali gerak normal (The relearning of normal movement), melalui penanganan manual dan fasilitasi.
Konsep Bobath Terkini
Dengan perkembangan ilmu dan teknologi, maka konsep Bobath juga mengalami perkembangan dimana menggunakan pendekatan problem solving dengan cara pemeriksaan dan tindakan secara individual yang diarahkan pada tonus, gerak dan fungsi akibat lesi pada sistem saraf pusat.
Tujuan intervensi dengan metode Bobath adalah optomalisasi fungsi dengan peningkatan kontrol postural dan gerakan selektif melalui fasilitasi, sebagaimana yang dinyatakan oleh IBITA tahun1995.
“The goal of treatment is to optimize function by improving postural control and selective movement through facilitation.” (IBITA 1995
Tujuan yang akan dicapai dengan konsep Bobat:
-Melakukan identifikasi pada area-area spesifik otot-otot antigravitasi yang mengalami penurunan tonus.
-Meningkatkan kemampuan input proprioceptive.
-Melakukan identifkasi tentang gangguan fungsi setiap individu dan mampu melakukan aktivitas fungsi yang efisien “Normal”.
Fasilitasi specific motor activity .
Minimalisasi gerakan kompensasi sebagai reaksi dari gangguan gerak.
Mengidentifikasi kapan dan bagaimana gerakan menjadi lebih efektif.
Analisa tentang gerak normal (normal movement) menjadi dasar utama penerapan aplikasi metode ini. Dengan pemahaman gerak normal, maka setiap fisioterapis akan mampu melakukan identifikasi problematik gerak kepada setiap pasien/klien atas penyimpangan gerak akibat gangguan system saraf pusat.
Akibat adanya gangguan sistem saraf pusat (SSP) akan mengakibatkan abnormal tonus postural, dari abnormal tonus postural tersebut melahirkan gangguan atau abnormalitas pada umpan balik sensoris yang akhirnya memunculkan kompensasi gerak. Pada aktifitas gerak, maka tonus otot postural akan sangat menentukan efektifitas dan efesiensi gerak yang akan dihasilkan
Analisa Berjalan
Jalan merupakan salah satu cara dari ambulasi. Dengan sifat plastisitas pada sistem saraf akan membentuk pola tertentu, sehingga jika penanganan fisioterapi tidak sesuai dengan pola jalan yang benar, maka pasien mungkin akan mampu untuk berjalan akan tetapi dengan pola yang tidak tepat. Apabila proses berjalan dilakukan dengan pola yang tidak tepat, maka aktivitas berjalan menjadi sangat sulit, walaupun kekuatan otot sudah sangat adekuat.
Untuk itu perlu mempelajari pola jalan yang benar, sehingga mampu melakukan koreksi dengan tepat.
Pada manusia ini dilakukan dengan cara bipedal (dua kaki). Dengan cara ini jalan merupakan gerakan yang sangat tidak stabil. Meski demikian pada orang normal jalan hanya membutuhkan sedikit kerja otot-otot tungkai. Pada gerakan ke depan sebenarnya yang memegang peranan penting adalah momentum dari tungkai itu sendiri atau akselerasi. Kerja otot justru lebih banyak pada saat deselerasi.
Pola berjalan
Dalam berjalan dikenal ada 2 fase, yaitu fase menapak (stance phase) dan fase mengayun (swing phase). Ada pula yang menambahkan satu fase lagi, yaitu fase dua kaki di lantai (double support) yang berlangsung singkat. Fase double support ini akan semakin singkat jika kecepatan jalan bertambah, bahkan pada berlari fase double support ini sama sekali hilang, dan justru terjadi fase dimana kedua kaki tidak menginjak lantai.
Fase menapak (60%) dimulai dari heel strike atau heel on, foot flat, mid stance, heel off dan diakhiri dengan toe off atau ball off.
Sedangkan fase mengayun (40%) dimulai dari toe off, swing dan diakhir dengan heel strike.
Perry mengklasifikasikan fase jalan ini secara fungsional, yang terbagi atas fase menapak (initial contact, loading response, midstance, terminal stance dan preswing) dan fase mengayun ( initial swing, midswing dan terminal swing).
Beberapa istilah dalam jalan:
Cadence: jumlah langkah per menit (irama jalan)
One gait cycle: dihitung dari heel strike sampai heel strike lagi pada kaki yang sama.
Step length: jarak (panjang) antara tumit kanan dan kiri saat melangkah
Stride width: jarak (lebar) antara tengah kaki kanan dan kiri saat melangkah
Stride length: jarak (panjang) antara tumit kanan ke tumit kanan berikutnya setelah melangkah
Komponen-komponen penting dalam berjalan
Fase menapak
- Ekstensi sendi panggul (hip)
- Geseran ke arah horizontal lateral pada pelvis dan badan
- Fleksi lutut sekitar 15o pada awal heel strike, dilanjutkan dengan ekstensi dan fleksi lagi sebelum toe off
Fase mengayun
- Fleksi lutut dengan awalan hip ekstensi
- Pelvic tilt kearah lateral bawah pada saat toe off
- Fleksi hip
- Rotasi pelvis ke depan saat tungkai terayun
- Ekstensi lutut dan dorsifleksi ankle dengan cepat sesaat sebelum heel strike
Plastisitas otak (neuroplasticity) adalah kemampuan otak melakukan reorganisasi dalam bentuk adanya interkoneksi baru pada saraf. Plastisitas merupakan sifat yang menunjukkan kapasitas otak untuk berubah dan beradabtasi terhadap kebutuhan fungsional. Mekanisme ini termasuk perubahan kimia saraf (neurochemical), penerimaan saraf (neuroreceptive) , perubahan struktur neuron saraf dan organisasi otak. Plastisitas juga terjadi pada proses perkembangan dan kematangan sistem saraf.
Untuk memberikan gambaran tentang plastisitas, maka penulis memberikan ilustrasi dengan membandingkan antara sifat plastisitas dan elastisitas.
Dari gambar tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut;
Suatu benda dengan bentuk awal segi empat jika diberi intervensi atau dimanipulasi untuk membentuk segi tiga, maka pada saat proses dilakukan benda berbentuk segi tiga akan tetapi pada akhirnya benda tersebut akan kembali pada bentuk awalnya, hal ini disebut sebagai kemampuan elestisitas.
Jika bentuk awal suatu benda berbentuk segi empat kemudian diberikan intervensi untuk membentuk segi tiga, maka pada saat proses dilakukan benda akan membentuk segi tiga dan juga menjadi bentuk akhir dari benda tersebut, hal ini disebut sebagai kemampuan plastisitas.
Dengan demikian jelas bahwa sifat elastisitas berbeda dengan sifat plastisitas. Sifat elastik artinya kemampuan suatu benda untuk dapat kembali pada bentuk asalnya, sedangkan sifat plastisitas menunjukkan kemampuan benda untuk berubah kedalam bentuk yang lain.
Nilai positif dari adanya sifat plastisitas adalah pada pasien stroke menjadi potensi untuk dapat dikembangkan dan dibentuk sehingga dapat menghasilkan gerak yang fungsional dan normal.
Nilai negatif dari adanya sufat plastisitas adalah jika metode yang diberikan tidak tepat, maka akan terbentuk pola yang tidak tepat pula.
Central Pattern Generators (CPGs)
Central Pattern Generators (CPGs) merupakan kumpulan neuron atau sirkuit neurologis yang dapat melakukan koordinasi gerakan secara umum, ritmik dan otomatik.
CPGs berada pada batang otak dan medulla spinalis. Pembahasan tentang CPGs belum terlalu jauh dalam beberapa literatur, akan tetapi keberadaan CPGs mengakibatkan perubahan sudut pandang tentang mekanisme kerja sistem saraf dari pola pikir sebelumnya.
Pada awalnya para ahli neurologis memandang proses perjalanan impuls berdasarkan pandangan Sherington yang terkenal dengan Hirarcic Models, dimana dijelaskan bahwa terdapat 4 level yaitu level tertinggi/level IV merupakan kerja dari kortex yang menuju pada level III yaitu thalamus, dilanjutkan ke level II yaitu pada brain stem dan berakhir pada level I yaitu spinal cord.
Dalam hirarki klasik refleks, bahwa respon yang diberikan dari setiap stimuli menempati tingkatan-tingkatan tertentu pada area spesifik di sistem saraf. Pada spinal cord untuk phasic reflex, Batang otak (Brain stem) untuk postural refleks, Mid brain untuk rightting dan corteks.
Dalam konsep tersebut menjelaskan bahwa CNS merupakan strukur yang sangat kaku (rigid). Sementara perkembangan neurosains menunjukkan bahwa CNS memiliki memiliki sifat multikoneksi dan sangat kompleks.
Keberadaan CPGs menghasilkan aktifitas fungsional gerak menjadi lebih bersifat reguler. Sebagai contoh pada proses berjalan, seseorang melakukan aktivitas berjalan dengan ritmik, teratur dan terarah dengan fase-fase dan pola yang tepat tanpa berfikir langkah demi langkah. Proses berjalan dari satu langkah ke langkah berikutnya terjadi secara otomatis dan reguler, hal ini menunjukkan adanya peran yang besar dari CPGs dalam aktivitas berjalan
tersebut.
Dengan demikian, intervensi yang diberikan pada pasien stroke dalam proses pembelajaran motorik atau motor relearning hendaknya mempertimbangkan aktivitas CPGs dalam setiap latihan gerak yang dilakukan.Keterlibatan CPGs dapat ditingkatkan dengan pemberian latihan yang ritmik, pola yang normal, dan merupakan latihan dengan gerak yang bersifat fungsional.
Pada aktifitas gerak, maka tonus otot postural akan sangat menentukan efektifitas dan efesiensi gerak yang akan dihasilkan. Beberapa hal yang berhubungan dengan tonus otot postural dapat digambarkan sebagai berikut ari gambar diatas dapat menjelaskan bahwa tonus postural dipengaruhi oleh adanya gaya gravitasi, Centre of Gravity (COG),Ground Reaction Force (GRF) dan Base of Support (BOS).
Gaya gravitasi dan GRF merupakan kekuatan eksternal (eksternal force) yang memberikan tekanan terus-menerus kepada tubuh. Besar tekanan gravitasi sama dengan besar tekananGround Reaction Force (GRF). Kedua tekanan tersebut memberikan informasi sehingga tubuh dapat melakukan prediksi untuk menjaga keseimbangan berupa penyesuaian pada BOS dan COG agar dapat tetap seimbang. Sehingga kemampuan tubuh untuk tetap tegap merupakan reaksi dari otot postural yang melawan gaya gravitasi dan GRF.Dari gambar menunjukkan bahwa perubahan posisi tubuh akan diikuti oleh perubahan letak COG yang memungkinkan tubuh tetap seimbang.
Sedemikian pentingnya tonus otot postural yang adekuat dalam memberikan stabilisasi untuk menghasilkan gerakan, maka salah satu fokus utama dalam intervensi ini adalah meningkatkan aktifasi dari otot-otot postural tersebut, dengan beberapa bentuk latihan yang kita sebut sebagai core stability exercise.
Keseimbangan pada stroke
Gangguan Keseimbangan Pada Pasien Stroke
Pasien dengan Stroke akan mengalami banyak gangguan-gangguan yang bersifat fungsional. Gejala stroke dapat bersifat fisik, psikologis, dan atau perilaku. Gejala fisik paling khas adalah hemiparalisis, kelemahan, hilangnya sensasi pada wajah, lengan atau tungkai di salah satu sisi tubuh, kesulitan bicara dan atau memahami (tanpa gangguan pendengaran), kesulitan menelan dan hilangnya sebagian penglihatan di satu sisi.
Kelemahan ektremitas sesisi, kontrol tubuh yang buruk serta ketidak stabilan pola berjalan merupakan aspek-aspek pada pasien stroke yang tidak terpisahkan. Kelemahan dari lengan, kedua tungkai, kelemahan sebagian otot-otot wajah merupakan hal umum yang terjadi pada pasien stroke. Walaupun demikian, itu semua berhubungan dengan masalah pada otot-otot aksial yang melemahkan kontrol tubuh dan proses berjalan.
Pasien dengan stroke juga akan mengalami berbagai gangguan keseimbangan. Gangguan keseimbangan berdiri pada pasien stroke berhubungan dengan ketidakmampuan untuk mengatur perpindahan berat badan dan kemampuan gerak otot yang menurun sehingga kesetimbangan tubuh menurun. Pasien dengan stroke berulang memiliki masalah dengan kontrol postural, sehingga menghambat gerakan mereka. Keseimbangan juga merupakan parameter bagi pasien stroke terhadap keberhasilan terapi mereka.
Pada pasien stroke, mereka berusaha membentuk gerakan kompensasi untuk gangguan kontrol postur mereka, kompensasi ini tidak selalu menjadi hasil yang optimal. Pasien dengan gangguan keseimbangan yang moderat hingga berat menggunakan banyak gerakan tambahan sebagai kompensasi dari defisit motorik nya, sedangkan untuk pasien dengan gangguan keseimbangan yang ringan, mereka memiliki kemampuan melakukan gerakan yang hampir sama dengan pola gerak normal.
Gangguan fungsi keseimbangan terutama saat berdiri tegak, merupakan akibat stroke yang paling berpengaruh pada faktor aktivitas sejak kemampuan keseimbangan tubuh dibidang tumpu mengalami gangguan dalam beradaptasi terhadap gerakan dan kondisi lingkungan.
Gangguan sensoris dan motorik post stroke mengakibatkan gangguan keseimbangan termasuk kelemahan otot, penurunan fleksibilitas jaringan lunak, serta gangguan kontrol motorik dan sensorik. Fungsi yang hilang akibat gangguan kontrol motorik pada pasien stroke mengakibatkan hilangnya koordinasi, hilangnya kemampuan merasakan keseimbangan tubuh dan postur (kemampuan untuk mempertahankan posisi tertentu). Kesulitan membentuk dan mempertahankan postur yang tepat dapat diketahui saat pasien melakukan gerakan ke berdiri maupun ke duduk. Pasien-pasien yang mengalami gangguan sensasi posisi tubuh akan cenderung ke arah vertikal.
Penurunan fungsi otot pada ekstremitas bawah mengakibatkan penurunan kemampuan untuk menyanggah, menahan dan menyeimbangkan massa tubuh. Selain itu terjadi kesulitan untuk memulai, mengarahkan, mengukur kecepatan kemampuan otot untuk mempertahankan keseimbangan tubuh. Keterlambatan untuk aktivitas otot dan melambatnya pembentukan gerakan memperngaruhi stabilitas serta respon kecepatan keseimbangan tubuh. Karena hal tersebut diatas menyebabkan banyak dari pasien stroke mengalami penurunan kemampuan hingga terjatuh saat mulai gerakan berdiri dan berjalan.
Perubahan adaptasi otot tubuh berupa penurunan kemampuan panjang otot dan kekakuan mempengaruhi kontraksi otot dan keseimbangan. Penurunan elastisitas jaringan lunak dan pemendekan otot membatasi mobilitas sendi di pergelangan kaki mempengaruhi pasien stroke geriatri (Vandervoort, 1999).
Disfungsi sistem sensoris dan persepsi-kognitif berpengaruh negatif pada kemampuan keseimbangan duduk serta berdiri, saat fase akut post stroke juga di ikuti gangguan somatosensoris, labyrinthine, fungsi visual, defisiensi propriosepsi dan kognitif. Salah satu penyebab gangguan menapak juga karena hilangnya sensasi kulit pada area plantar telapak kaki.
SUMBER : danar88.wordpress