FISIOTERAPI POST STROKE

Gerak tubuh yang salah pascastroke bisa menimbulkan masalah kesehatan yang lain.



Syaiful Junandar sebut saja begitu terpincang berjalan. Sementara itu, tangan kanannya menekuk kaku seolah orang patah lengan. ''Saya kena stroke separuh badan kanan,'' ungkap bapak 60 tahunan ini.



Sejak kena stroke setahun silam, Syaiful tak lagi bisa mandiri melakukan aktivitas keseharian. Memasang baju pun ia butuh bantuan. ''Stroke membatasi gerak saya,'' kata kakek dua cucu ini dengan suara yang sedikit pelo.Untuk memulihkan fungsi tubuhnya, Syaiful mengikuti anjuran dokter. Tiap hari, dua kali ia fisioterapi di rumah. ''Saya mendapat home program dan evaluasi sebulan sekali,'' ujar penderita stroke yang sudah tidak memakai tongkat untuk membantunya berjalan.



Fisioterapi pascaserangan stroke memang jurus paling ampuh untuk memperbesar kemungkinan pulihnya seseorang. Meski begitu, banyak orang yang melakukannya tidak dengan sungguh-sungguh. ''Semestinya, segera setelah dokter menyarankan terapi, pasien langsung mengerjakannya,'' cetus Daniel A Nugroho, fisioterapis dari Eastwest Phisiotherapy and Rehabilitation.



Gerak kompensasi

Tanpa fisioterapi penderita stroke seperti Syaiful mungkin saja bisa kembali berjalan dan menggerakkan tangannya yang serasa lemah ( flacid ) atau kebas. Namun, sebetulnya, yang ia lakukan hanyalah gerak kompensasi. ''Sebab tubuh akan selalu mencari jalan agar bisa survive ,'' jelas Daniel. Tak heran jika gerakan tubuh pasien stroke terlihat sangat khas. Bahkan orang awam sekalipun bisa mengenali gerak orang stroke. ''Itu karena ia melakukan gerak tubuh yang tidak benar,'' kata Daniel.



Sesaat, kemampuan bergerak akan membuat lega penderita stroke dan keluarga. Mereka akan mencatatnya sebagai sebuah kemajuan. ''Padahal, itu justru bom waktu sebelum timbul masalah kesehatan lain,'' papar alumnus Akademi Fisioterapi Departemen Kesehatan, Solo, Jawa Tengah ini. Daniel menjelaskan saat stroke otak bisa saja kehilangan memori gerak. Tetapi, otak kemudian menemukan cara lain untuk bisa menunjang mobilitas tubuh. ''Ini artinya otak mendapatkan pesan untuk melakukan gerak kompensasi, gerakan yang tidak semestinya begitu.''



Jika dibiarkan, bertahun-tahun kemudian, gerak kompensasi akan terekam menetap di otak dan membentuk posisi tubuh yang salah. Posisi tubuh yang keliru bisa mencederai bagian tubuh lainnya. ''Gerak tangan serupa orang patah lengan jika dipertahankan begitu adanya akan mendatangkan sakit pinggang dan menaikkan otot bahu dan merusak jaringan lunak ( labrum ) bahu,'' jelas Daniel.



Bergerak dengan benar

Dua-tiga bulan pertama, lanjut Daniel, adalah waktu paling krusial dalam pemulihan pasien stroke. Saat itu, pasien stroke biasanya masih merasa lemah. ''Mereka akan masuk ke fase spastic alias kaku jika tidak distimulasi.''Hanya saja ada beberapa hal yang menjadi faktor penyulit stimulasi. Di antaranya, jika pasien terpengaruh bagian otak yang mengatur bicara. Pun, jika orientasinya yang terimbas. ''Lebih mudah dipulihkan andaikan gerak saja yang bermasalah,'' urai Daniel.



Dalam dua sampai tiga bulan pertama, terapi difokuskan pada pengembalian kemampuan kontrol tubuh. Ini adalah modal untuk bisa bergerak dengan benar. ''Kontrol tubuh yang baik juga akan menghindari pasien dari kemungkinan oleng terjatuh saat mendorong pintu atau menunduk mengambil barang,'' tutur Daniel. Kontrol tubuh dapat diraih dengan beragam latihan keseimbangan. Penempatan anggota tubuh pada posisi yang benar adalah target latihannya. ''Ini akan menstabilkan lutut dan menguatkan otot penyangga badan ( core ),'' ucap Daniel yang secara berkala mendapatkan pelatihan fisioterapi dari instruktur besertifikat internasional.



Setelah kontrol tubuh berhasil dipulihkan, terapis akan mengajak pasien seperti Syaiful beranjak ke program berikutnya. Kali ini, perhatian dipusatkan pada latihan gerak. ''Gerakan yang benar membuat sendi berfungsi dengan benar hingga mengurangi nyeri, meminimalkan komplikasi,'' cetus Daniel.



Agar bisa kembali bergerak dengan benar, penderita stroke juga dilatih motorik halusnya. Mereka diajak untuk melakukan gerakan menjapit dan memegang. `'Yang dilihat bukan hasilnya tetapi proses menjapit dan memegangnya,'' ucap Daniel.



Saat evaluasi, itulah yang dilihat oleh terapis. Dari tidak bisa bergerak menjadi bisa saja tidak cukup. Terapis akan membantu pasien mengenali benar-tidaknya mereka melakukan gerak. `'Sebab, itu yang penting demi kesehatan tubuh secara utuh,'' tandas Daniel.



Terapi organ bicara

Kebanyakan penderita stroke mengalami gangguan sebelah badan, kiri ataupun kanan. Sebagian kecil terkena setengah badan, atas atau bawah. `'Tim rehabilitasi akan membantu memulihkan kemampuan gerak yang hilang akibat stroke,'' jelas Daniel.



Sementara itu, untuk mengembalikan kemampuan berkomunikasi lisan, terapis akan bekerja sama dengan terapis wicara. Saat fisioterapi, pasien diajak untuk melatih otot-otot pernapasannya, salah satunya dengan cara meniup. `'Sedangkan pelafalan yang benar dipandu oleh terapis wicara,'' tutur Daniel.



Pasien stroke kerap kali mengalami gangguan kontraksi otot leher, bibir, lidah, dan tenggorokan. Tak jarang, lidah pasien menjadi mencong ke kanan atau kiri akibat stroke. `'Stimulasinya bisa dengan memintanya untuk mengarahkan lidah menyentuh spatula yang dimasukkan ke rongga mulut atau dengan menjilat madu di sisi yang berlawanan dengan posisi lidah,'' urai Daniel.



Terapi organ bicara ini akan lebih baik dilakukan dengan postur tubuh yang benar. Yakni, dalam posisi duduk. Sebab, posisi setengah tidur atau duduk tentu memengaruhi kontrol bicara. `'Dalam posisi setengah tidur, energi yang dipakai untuk bicara menjadi lebih besar,'' papar Daniel. Alhasil, pasien lebih mudah berlatih bicara. rei









Keluarga, Kunci Sukses Terapi



Mampu naik-turun tangga, memegang gelas, dan lebih lancar bicara memulihkan Syaiful Junandar tidak saja secara fisik tetapi juga psikisnya. Ia bersyukur keluarga mencurahkan perhatian dan kasih sayang di saat terburuk dalam hidupnya. `'Tanpa mereka mungkin saya tidak akan banyak kemajuannya,'' kata pengidap hipertensi yang pernah menjalani operasi jantung ini.



Di mata fisioterapis Daniel A Nugroho, Syaiful termasuk beruntung. Sebab, keluarga tak patah semangat memberi dukungan. `'Dalam praktik sehari-hari saya temui lebih sukar menterapi keluarga pasien ketimbang pasiennya sendiri.''



Dukungan psikologis dari keluarga, lanjut Daniel, turut andil dalam proses pemulihan penderita stroke. Daniel kerap melihat keluarga pasien setengah hati menemani terapi atau larut dalam kesedihan. `'Keluarga semestinya menciptakan suasana yang menenteramkan bagi penderita stroke.''



Lantaran kurang dukungan dari keluarga, pasien stroke kerap kali urung menjalankan program latihannya di rumah. Kualitas latihan yang jelek otomatis menghalanginya membuat kemajuan. `'Keluarga lantas beranggapan fisioterapi tidak berhasil dan beralih ke penyembuhan alternatif,'' sesal Daniel.



Selain itu, keluarga yang tidak sepenuh hati mendampingi pasien stroke juga sering menganggap dua-tiga bulan pertama yang menjadi masa emas penyembuhan sebagai harga mati. Mereka mengira lewat dari periode tersebut hilanglah harapan pulih bagi pasien. Padahal, golden period tidak mentok di dua-tiga bulan. `'Sesungguhnya, keluargalah yang bisa memperpanjang masa keemasan tersebut,'' kata Daniel. rei



Sumber : www.republika.co.id