Elektrotherapy pada Nyeri Bahu

 Nyeri bahu sering dialami masyarakat. Sayang, gangguan sendi bahu ini kerap diremehkan dan dianggap sepele. Paling-paling karena terlalu lelah atau kurang bergerak. Begitu biasanya kita berpikir. Padahal, bila tidak segera diatasi, kualitas hidup penderita bakal terganggu.

Penyakit ini dapat bersifat idiopatik atau tidak diketahui penyebabnya, dapat pula didahului adanya trauma atau terkait penyakit diabetes mellitus, tiroid, dan tidak bergerak dalam waktu lama.

Kekakuan atau nyeri bahu ini ditandai oleh hilangnya kemampuan gerak bahu aktif dan pasif secara bertahap. Kelainan ini berkembang pada usia 40-70 tahun, dan lebih mudah terjadi pada perempuan.


Proses perjalanan penyakit ini meliputi penebalan dan kontraktur kapsul sendi yang terjadi melalui beberapa tahap yang bisa berlangsung bertahun-tahun. Kelainan ini merupakan penyebab nyeri bahu yang paling umum, dan menyerang 2-5 persen dari populasi. Sekitar 90 persen dari kasus kekakuan sendi itu bisa sembuh dengan sendirinya meski butuh waktu bertahun-tahun.

Sindroma nyeri bahu sangat komplek jika ditinjau dari penyebab dan spesifikasi jaringan yang umum apabila struktur jaringan tubuh (muskuloskeletal) mengalami lesi, hampir selalu diikuti dengan kerusakan jaringan. Kerusakan suatu jaringan akan berakibat perangsangan terhadap reseptor nyeri (nociceptor) sebagai “defence mechanism”yang berlanjut menjadi proses peradangan. Namun pada kondisi/lesi tertentu peradangan sangat mengganggu aktivitas fungsional walaupun pada peradangan fisiologis proses peradangan diikuti proses penyembuhan (repair).

Pada kondisi tertentu peradangan dapat menjadi patologis atau kronis sehingga perlu penanganan yang tepat. Sehingga pada kondisi cedera olah raga akan selalu muncul beberapa gejala berupa:
  • nyeri
  • pembengkakan
  • kerusakan jaringan kolagen dan jaringan lunak
  • gangguan stabilitas sendi karena kerusakan struktur stabilitator
  • bahkan gangguan koordinasi karena penurunan fungsi reaksi arthrokinetik
  • gangguan fungsi

Berikut ini beberapa faktor yang perlu diketahui sebagai penyebab rasa nyeri pada sistem muskuloskeletal menurut “physiological mechanisms”
  1. Nociceptor mechanism
  2. Nerve or root compression (neuropathic)
  3. Trauma (deafferentation pain)
  4. Inappropriate function in the control of muscle contraction
  5. Psychosomatis mechanism
Sering kita lihat, penyebab dan gejala klinis sakit pada otot-otot dan tulang adalah campuran dan beberapa faktor tersebut merupakan akibat dari nociceptor pain pada sendi-sendi tulang belakang. Juga neuropathic pain dari diskuis hernatus dan reaksi sakit akibat hipertonus reflex dari otot- otot tulang belakang. Dalam hal ini kemungkinan juga ada faktor psychosomatis.

Muscle Spasme and Pain

Classification of pain according to pathogenetic mechanisms
  • Nociceptor pain: Specialized sensory nerve endings excited by pathophysiological processes
    • e.g. inflamed joint
  • Neuropathic pain: Afferent nerve fibres become directly responsive to stimuli after damage by compression or biomechanical disorders 
    • e.g. herniated disk diabetic polyneurophaty
  • Deafferentation pain: Neurons in central nervous sistem become hyperexcitable after loss of output,
    • e.g. root avulsion, nerve transection.
  • Reactive pain: Nociceptor excitation by dysfunctional motor or symphatetic efferent or reflex mechanisms, 
    • e.g. muscular hypertonus sympathetic algodystrophy
  • Psychosomatis pain: Psychic and psychosocial problems aggravate existing pain or are expressed in the language of pain
Physiological mechanism of pain in the musculo-skeletal system

Nociceptor


Sensory element yang dapat mengirim sinyal ke CNS akan hal-hal yang berpotensi membahayakan. Sangat banyak terdapat pada tubuh kita serabut-serabut afferent-nya terdiri dari:
  • A delta fibres, yaitu serabut saraf dengan myelin yang tipis
  • C fibres, serabut saraf tanpa selaput myelin
Tidak semua serabut-serabut tersebut berfungsi sebagal nociceptors, ada juga yang bereaksi terhadap rangsangan panas atau stimulasi mekanik. Sebaliknya nociceptor serabut-serabut sensory besar, seperti A Alpha, A Beta atau Group I, II. Serabut-serabut sensory besar ini berfungsi pada “proprioception” dan “motor control”.

Nociceptors (specialised sensory receptors that respond to pain) can cause chronic pain if they are damaged. (A) In the normal state, if a nociceptor is activated by a noxious stimulus, the nerve cell transmits the information via the sensory system to create a painful sensation in the brain. (B) If the nociceptor is damaged, it can start firing randomly and activate other nerves that eventually cause phantom pain. (C) If the nociceptor was an inhibitory nerve, its inactivation through damage could activate other nerves in the sensory network that eventually cause phantom pain.
Nociceptor sangat peka terhadap rangsangan kimia (chemical stimuli). Pada tubuh kita terdapat “algesic chemical substance” seperti Bradykinine, Potassium ion, Serotonin, Prostaglandin dan lain-lain.

Substance P, suatu Neuropeptide yang dilepas dari ujung-ujung saraf tepi nociceptive tipe C, mengakibatkan peningkatan mikrosirkulasi lokal, ekstravasasi plasma. Fenomena ini disebut sebagal “neurogenic inflammation” yang pada keadaan lanjut menghasilkan noxius/chemical stimuli, sehingga menimbulkan rasa sakit.

Disregulasi sistem motorik yang menyebabkan rasa sakit. Kita ketahui hipertonus otot dapat menyebabkan rasa sakit. Pada umumnya otot-otot yang terlibat adalah misalnya pada bahu rotaor cuff otot stabilisator bisep brachialis, elevator scapula, thermocleido mastoideus.

Nociceptive stimulus diterima oleh serabut-serabut afferent ke spinal cord, menghasilkan kontraksi beberapa otot akibat “spinal motor reflexes”. Nociceptive stimulus ini dapat dijumpai di beberapa tempat seperti kulit, visceral organ, bahkan otot sendiri. Reflex itu sendiri sebenarnya bermanfaat bagi tubuh kita, misalnya “withdrawal reflex” merupakan mekanisme survival dari organisma.

Disamping fungsi tersebut kita juga sadari bahwa kontraksi otot-otot tadi dapat meningkatkan rasa sakit, melalui stimulasi nociceptor di dalam otot dan tendon. Makin sering dan kuat nociceptor tersebut terstimulasi, makin kuat reflex aktivitas terhadap otot-otot tersebut. Hal ini akan meningkatkan rasa sakitnya, sehingga menimbulkan keadaan “vicious circle” kondisi in akan diperburuk lagi dengan adanya ischemia lokal, sebagai akibat dari kontraksi otot yang kuat dan terus menerus atau mikrosirkulasi yang tidak adekuat sebagai, akibat dari disregulasi sistem simpatik.

Pada situasi ini, modulasi nyeri berada pada tingkat reseptor yang ditandai dengan gejala nyeri yang hebat, radang, dengan aktivitas tinggi atau rendah. Nyeri berdasarkan pada regio lesi misalnya disekitar sendi glenohumeral bagian anterior. Pada situasi berikutnya nyeri dapat bersifat menyebar apabila aktivasi fungsi sympatis tidak terkontrol atau disebut neurovegetative disbalance seperti terdapat pada gambar.

Physiological mechanisma of pain in the musculo-skeletal system

Input serabut afferent dari organ visceral, kulit, sendi, tendon, otot-otot atau impulse dari otak yang turun ke spinal dapat mempengaruhi rangsangan (excitability) dari Alpha dan Gamma motor neuron yang berakibat kontraksi otot (muscle stiffnes) misalnya meningkatkan input nociceptive dari intratorakal akan meningkatkan tonus otot dari otot yang mendapat inervasi somatis thorakal misalnya: intercostalis, serratus anterior dan otot yang melintasi struktur segemen C5 dan C6.

Disamping itu input nociceptive dari sendi kapsul dapat meningkatkan “reflex excitability” dari beberapa otot antagonis yang bersangkutan dengan pergerakan sendi tersebut sehingga hal ini dapat memblok sendi tersebut disebut juga sebagai neurogenic block. Pengaruh yang paling besar berasal dari otak, stress dan emosi dapat mengakibatkan “descending excitatory pathway”, sehingga merangsang peningkatan reflex dari otot-otot postural regio servical. Pada situasi ini aktivasi nociceptor bersifat spinal menuju supraspinal yang akan menunjukkan nyeri rujukan pada sistem somatis maupun sympatis perifer.

Secara somatis neurofisiologis sendi bahu mendapat inervasi somatis dari segmen cervical 5, 6 (C5 dan C6). Segemen ini juga memberikan distribusi inervasi ke struktur otot, sendi dan kulit (lihat skema preganglioner neuron segmental C5, C6 dan segmen Th4, Th5, Th6).

Neurofysiologis menunjukkan bahwa segmen C5 dan C6 tidak mempunyai sistem simpatis yang menginervasi pembuluh darah pada struktur yang disarafi secara somatis. Untuk memenuhi kebutuhan suplai vaskuler maka semua struktur inervasi somatis dari C5 dan C6 mendapat cabang persarafan dari sympatis perifer yang berasal dari segmen thorakal 5, 6 (Th5, Th6).

Thorakal 5, 6 juga harus bertanggung jawab terhadap persarafan somatis dari struktur : otot, kulit, sendi dan persarafan organ intratorakal dan intraabdominal yaitu : jantung, paru, gaster, osophagus dan hati.

Secara sederhana dapat dipahami bahwa aktivasi nociceptor sendi bahu dapat di rujuk ke sistem somatis akan menghasilkan nyeri rujukan pada struktur otot, sendi, kulit yang mendapat inervasi segmen somatis C5, C6, misalnya nyeri bahu dapat menimbulkan keluhan nyeri yang hebat pada otot rhomboideus dan otot rotator cuff.

Pada keadaan ini maka spasme otot juga dapat menyebar ke regio lain baik pada struktur otot, sendi maupun kulit sehingga nyeri bersifat menyebar. (Lihat gambar di bawah ini). Intervensi fisioterapis secara sederhana sebaiknya memberikan modulasi nyeri level spinal dengan TENS.

Pada keadaan lanjut rujukan nyeri dapat mencapai segmen thorakal. Segmen thorakal bertanggung jawab terhadap persarafan somatis pada regio somatis thorakal itu sendiri dan bertanggung jawab terhadap symnpatis perifer dari struktur inervasi somatis C5, C6 maupun sympatis asli organ intrathorakal dan intra abdominal. Dengan istilah lain sumber nyeri dari sindroma nyeri bahu dapat berasal dari segementasi perifer somatis, sympatis perifer dan sympatis asli.

Dari gambaran klinis sering dijumpai nyeri bahu (syndroma nyeri bahu) sering dijumpai bahwa terjadi ada entrapment dari segemen C5 dan C6 atau terjadinya entrapment pada thoracal 4 yang sering disebut sebagai sindroma Th4. Akan tetapi tidak menutup kemungkinan bahwa organ thorakal dirasakan nyeri bahu misalnya infare myocord akut atau angina pectoralis. Di sisi lain nyeri lambung kronis (gastritis kronis) juga sering memberikan keluhan nyeri pada regio thoracal scapula yang ditandai dengan spasme yang sangat kuat.

Berdasarkan uraian singkat mengenai gambaran nyeri bahu secara neurofisiologi dan secara klinis maka dapat dipahami secara sederhana tentang teori nyeri sebagai berikut :

Teori Nyeri
Ada 3 teori yang berusaha menjelaskan bagaiman nyeri itu timbul dan terasa, yaitu :
  • Teori spesifik
Teori yang mengemukakan bahwa reseptor dikhususkan untuk menerima suatu stimulus yang spesifik, yang selanjutnya dihantarkan melalui serabut A delta dan serabut C di perifer dan traktus spinothalamikus di medulla spinalis menuju ke pusat nyeri di thalamus. Tori ini tidak mengemukakan komponen psikologis.
  • Teori pola (pattern)
Teori ini menyatakan bahwa elemen utama pada nyeri adalah pola informasi sensoris. Pola aksi potensial yang timbul oleh adanya suatu stimulus timbul pada tingkat saraf perifer dan stimulus tertentu menimbulkan pola aksi potensial tertentu. Pola aksi potensial untuk nyeri berbeda dengan pola untuk rasa sentuhan.
  • Teori kontrol gerbang (gate control)
Melzak dan Wall tahun 1965 mengemukakan teori kontrol gerbang yang banyak diterima banyak ahli. Teori ini berkembang dari segi mekanisme neurofisiologi yang menyangkut pengontrolan nyeri dari perifer maupun sentral. Konsep dasarnya menggabungkan teori spesifik dan teori pola ditambah dengan interaksi antara afferen perifer dan sistem modulasi yang berbeda di medulla spinalis (subtansia gelatinosa). Selain itu juga mengemukakan sistem modulasi descenden (dari pusat ke perifer).
Menurut teori ini, afferen terdiri dari dua kelompok serabut, yaitu kelompok yang berdiameter besar (A-beta) dan serabut berdiameter kecil (A-delta dan C). Kedua kelompok afferen ini berinteraksi dengan substansia gelatinosa ini berfungsi sebagai modulator (gerbang kontrol) terhadap A-bera, A-delta dan C.
Apabila subsatansia gelatinosa (SG) aktif, gerbang akan menutup. Sebaliknya apabila SG menurun aktivitasnya, gerbang membuka. Aktif dan tidaknya SG tergantung pada kelompok afferen mana yang terangsang.
Apabila serabut berdiameter besar terangsang, SG menjadi aktif dan gerbang menutup. Ini berarti bahwa rangsang yang menuju pusat melalui transitting cell (T-cell) terhenti atau menurun. Serabut A-beta adalah penghantar rangsang non-nociceptive (bukan nyeri) misalnya sentuhan, proprioceptive.
Apabila kelompok berdiameter kecil (A-delta, C) terangsang, SG akan menurun aktivitasnya sehingga gerabang membuka. A-delta dan C adalah serabut pembawa rangsang nociceptive, sehingga kalau serabut ini terangsang, gerbang akan membuka dan rangsang nyeri akan diteruskan ke pusat.

Modulasi Nyeri
Nyeri merupakan gejala yang mendorong seseorang mencari pertolongan pelayanan kesehatan termasuk fisioterapis. Untuk itu, fisioterapis perlu memahami mekanisme bagaimana nyeri tersebut dihilangkan atau dikurangi, dengan kata lain bagaimana memodulasi nyeri.
Ada beberapa tingkat dalam susunan aferen dimana nyeri dapat dimodulasi.
a. Pada reseptor

Pada tingkat ini, sasaran modulasi pada reseptor di perifer. Modulasi diperoleh dengan :
  • Menurunkan eksitabilitas reseptor (misalnya dengan pendinginan)
  • Menghilangkan faktor perangsang reseptor, misalnya dengan memperlancar proses pembuangan melalui peredaran darah.
  • Menurunkan tingkat aktivitas gamma-neuron, misalnya dengan pemanasan
b. Tingkat spinal
Pada tingkat ini, sasaran modulasi pada subtansia gelatinosa dengan tujuan memberikan inhibisi terhadap transmisi stimulus nyeri. Berdasarkan tori kontrol gerbang oleh Melzak dan Wall, maka untuk dapat menghilangkan atau mengurangi nyeri, SG harus diaktifkan sehingga gerbagn menutup. Untuk dapat menutup gerbang tersebut, perlu ada stimulasi terhadap serabut berdiameter besar (A-beta) dengan rangsang non-reciceptive, misalnya dengan:
  • TENS
  • Manipulasi yang lembut
c. Tingkat supraspinal

Pada tingkat ini kontrol nyeri yang dilakukan oleh peri aquaductal gray matter (PAG) di mid brain. PAG mengirim stimulus ke nucleus raphe magnus (NRM) yang selanjutnya ke tanduk belakang medulla spinalis (PHC). NRM akan menghambat afferen A-delta. Selain itu NRM juga juga memacu timbulnya serotonin. PAG memodulasi nyeri melalui produksi endorphin di PHC dengan perantaraan NRM. Melalui locus ceruleus (LC) dan medial lateral pada brachial nucleus. PAG juga memodulasi nyeri dengan enkephalin di PHC. Mayer dan Price menemukan bahwa Low frequency high voltage TENS menghasilkan endorphin (endogenous morphine like substance, identik dengan opium). Dengan uraian tersebut, maka modulasi nyeri pada tingkat supraspinal ada 2 kemungkinan mekanisme yang terlibat, yaitu jalur endorphine dan jalur serotonin.

d. Tingkat sentral
 
Pada tingkat sentral ini, komponen kognitif dan psikologik berperan di dalam memodulasi nyeri. Hal ini ditentukan oleh sikap seseorang terhadap nyeri dan emosi yang mengendalikan seseorang tentara yang sedang berperang tidak nerasakan nyeri yang hebat meskipun menderita luka berat. Hal ini menunjukkan bahwa nyeri meliputi dua aspek yaitu aspek sensoris dan psikologis. Dengan demikian susunan saraf pusat juga berperan dalam memodulasi nyeri.

Konsep tempat “pain dumping” dengan elektro terapi

Strategi, terapi tentu berdasarkan pengenalan akan patogenesis dari rasa sakit tadi, misalnya apabila rasa sakit akibat inflammasi atau trauma, maka pemberian terapi dengan tujuan mengurangi inflammasi dan mengurangi nyeri bisa dikatakan sangat tepat, misalnya degan TENS, Interferensi dan SWD pulsa.

Tetapi tentu kita juga akan mengurangi hipertonus otot-otot di lokasi tersebut. Pengobatan untuk megurangi rangsangan (excitation) pada interneuronal pool atau pada motor neuron itu sendiri akan menurunkan aktivitas dari motor neuron tersebut sehingga ketegangan otot (muscle tension) juga ikut mengendor.

Metode terapi ini akan lebih tepat menggunakan stimulasi listrik dengan arus listrik frekuensi menengan atau frekuensi. tinggi, misalnya interferensi, SWD dan sebagainya.
Cara untuk menurunkan rangsangan ini dapat diperoleh dengan:
  1. Meghambat impulse serabut afferent pembawa nyeri (nociceptive) atau serabut afferent tipe III b / IV (A delta. dan C) melalui serabut afferent tipe II/III a. Metode ini dapat dilakukan dengan, menggunakan arus interferensi atau diadinamik dengan teknik aplikasi lokal, regional, segmental ataupun trigger point. (Modulasi Spinal)
  2. Mengaktifkan sistem neuron penghambat (inhibitory neuronal sistem) supraspinal turun ke sel-sel sensoris (dorsal horn) medulla spinalis interneuronal pool di medulla spinalis. Metode ini dikenal dengan teori “Gate Control”. (Modulasi Spinal)
  3. Mengaktifkan sistem neurovegetatif
  4. Metode ini dapat menggunakan stimulasi elektris dengan arus frekuensi rendah misal arus 2-5 dan frekuensi menengah (arus interfernsi)). Pada prinsipnya akan merangsang nociceptive untuk pembebasan substance P yang bermanfaat sebagai vasodilatator pembuluh darah perifer sehingga akan terjadi perbaikan sistem vaskularisasi. Sedangkan untuk merangsang nociceptor dapat menggunakan energi mekanik atau energi elektrik yang dihasilkan oleh US atau arus listrik dengan pulsa yang progresif (arus 2-5, arus interferensi). Metode aplikasinya dapat dilakukan secara kombinasi antara inferensi dengan ultrasonik guna mencari titik peka rangsang yang kurang bisa dideteksi dengan arus frekuensi rendah atau arus listrik frekuensi menengah saja. Adapun titik peka rangsang dapat ditemukan di sepanjang vertebra yang dikenal dengan istilah “trigger point”. Kualitas trigger point dapat berupa allodynia, hyperaesthesia dan hyperalgesia. Aplikasi aktivasi neurovegetative dapat dilakukan dengan metode segmental somasis maupun metode segmental sympatis. (Modulasi Supra Spinal)
  5. Memperbaiki proses peradangan (Modulasi Perifer/Receptor)Pada dasarnya setiap peradangan akan terjadi kerusakan jaringan collagen, sehingga untuk memperbaiki regenerasi jaringan collagen perlu mengetahui fase penyembuhan cedera/lesi jaringan lunak, yang meliputi:

  • Fase kerusakan jaringan
  • Fase perdarahan
  • Fase peradangan
  • Fase regenerasi
  • Fase prolferasi, produksi, remondelling? sembuh

Penggunaan arus frekuensi tinggi (US, SWD) sangat membantu pada setiap fasem proses stimulasi termal-altermal secara lokal, regional maupun segmental
Selain itu pada penggunaan US dan atau SWD, kita harus selalu memperhatikan aktualitas dan suatu kondisi.
Pada aplikasi elektroterapi, perlu memahami minimal 3 (tiga) aspek yaitu :
i. Aspek teknis yang berliubungan dengan fisika dasar dari alat elektrbterapi yang digunakan.
ii. Aspek spesifikasi jaringan yang hendak diterapi, untuk menentukan indikasi dan kontra indikasi serta dosis penatalaksanaan terapi.
iii. Aspek pathogenesis dari suatu lesi atau kelainan yang bertujuan untuk menentukan dosis terapi.

Artikel asli lengkap dengan Gambar silakan rujuk di www.fisiosby.com