PERBANDINGAN PENGARUH TINDAKAN TRANSVERSAL DAN INTERFERENRTIAL CURRENT THERAPY TERHADAP PENGURANGAN INTENSITAS NYERI PADA PENDERITA TRAUMATIC INJURY



BAB I



PENDAHULUAN



1. Latar Belakang



Peranan jaringan lunak pada tubuh dalam arti sehat dan sakit sangatlah penting terutama dalam melakukan setiap aktivitas sehari-hari, seperti halnya pada jaringan otot, fascia, ligament, dan jaringan connective tissue lainnya yang berfungsi mengefisiensikan biomekanik tubuh secara menyeluruh. Apabila terjadi gangguan pada jaringan lunak maka akan menimbulkan gejala seperti nyeri, oedem, nodulus, dan perubahan warna kulit, serta perubahan suhu dan jaringan organ tubuh yang terganggu melalui sistem reflekstoar (Stanley Lief hal 167, 1997 ).



Namun diantara gejala tersebut, nyerilah yang paling sering ditemukan dalam praktek klinik sebagai keluhan utama dari penderita seperti adanya nyeri pada otot intercostalis akibat traumatic injury yang dikategorikan sebagai gejala. Kondisi seperti ini mengakibatkan terjadinya penurunan aktivitas fungsional dan ketidak mampuan penderita dalam menyelesaikan tugas-tugasnya setiap harinya.




Dengan memberikan layanan Fisioterapi pada kondisi-kondisi yang sifatnya traumatic injury pada soft tissue seperti pada otot intercostalis maka didapatkan hasil yang sangat memuaskan dimana dari 37 orang yang mengalami traumatic injury pada otot intercostalis, 32 orang diantaranya sudah sembuh dengan penurunan nyeri VAS dibawah dari 3 dengan frekuensi terapi sebanyak tiga kali dalam seminggu dan dilakukan selama dua minggu (Data Poliknik Fisioterapi Politeknik Ilmu Pelayaran Makassar September 2006).



Dari data diatas digambarkan bahwa untuk peran fisioterapi pada kondisi traumatic injury pada soft tissue sangatlah penting, karena dengan layanan Fisioterapi kita dapat meminimalkan penggunaan obat-obatan yang sifatnya kimia seperti obat-obat analgetik. Adapun modalitas yang biasanya di aplikasikan terhadap penderita yaitu penerapan alat interferential current theraphy dan transversal friction (manual terapi) dalam menurunkan nyeri dan mempercepat proses penyembuhan pada jaringan lunak.



Untuk penggunaan Transversal friction dan interferential current theraphy memang sudah sering digunakan dalam mengatasi penurunan nyeri pada kondisi traumatic injury untuk soft tissue, namun sejauh mana pengaruh transversal friction dan interferential current theraphy terhadap kondisis traumatic injury pada soft tissue dalam menurunkan intensitas nyeri belum ada data atau penelitian yang mengembangkan dan memberikan gambaran mengenai hal tersebut diatas.



Berdasarkan latar belakang diatas, penulis tertarik untuk meneliti dan mengkaji tentang sejauh mana ”Perbandingan pengaruh tindakan transversal friction dan interferential current theraphy terhadap pengurangan intensitas nyeri pada penderita traumatic injury”.



BAB II



TINJAUAN PUSTAKA



1. Patologi Traumatic Injury pada Soft Connectif Tissue



Jaringan lunak adalah satu dari empat jaringan dasar dari tubuh dan mencangkup fungsi tubuh secara umum ( Clancy dan Mc. Vicar, 1995 ) yaitu :



1. Melindungi organ yang halus yang ada disekitar jaringan lunak tersebut.

2. Merupakan pembentuk dari kerangka tubuh manusia

3. Sebagai alat pendukung dan pengikat antara jenis jaringan lunak yang lain pada tubuh.

4. Sebagai alat transportasi bahan dari satu jaringan kejaringan lain.

5. Sebagai pertahanan internal terhadap serangan pathologic.



Untuk proses penyembuhan dari cidera jaringan lunak melalui beberapa tahap (Dandy,1993) yaitu :



1. Pada saat terjadi cidera pembuluh darah robek, kemudian akan terisi bekuan darah dan pembuluh darah terjadi vasodilatasi.



2. Selama 2-3 hari pertama, batas luka terisi dengan macrophage yang akan berubah menjadi jaringan mati. Fibroblast dan kapiler akan terlihat lebih jelas.



3. Antara 3 sampai 14 hari, fibroblast terbentuk dari jaringan fibrous, perdarahan dan pembentukan jaringan keras berkurang sampai 80 % dari ukuran sebenarnya. Setelah 14 hari luka mulai menampakkan kesembuhan dan cukup untuk tekanan yang normal, tetapi tidak mampu dengan beban yang full sampai 3 bulan.



4. Antara 2 minggu sampai 2 tahun, jaringan lunak selanjutnya bisa memendek, dimulai dari jaringan yang luka berwarna keabu-abuan yang berangsur-angsur menjadi warna pucat. Jaringan lunak pada sisi fleksor dari sendi bisa terjadi pemendekan yang berat tetapi untuk aspek ekstensor dari sendi dapat terjadi penguluran dan terlihat jaringan keras yang jelek.



B. Pengetahuan Tentang Nyeri



1. Konsep Nyeri



Menurut priguna sidharta, nyeri adalah perasaan majemuk yang bersifat subjektif, yang di sertai perasaan yang tidak enak, pedis dan dingin, rasa tertekan dan ngilu, linu, pegal, dsb. Sebagai akibat adanya stimulasi ataupun trauma dari dalam dan dari luar neuromuscular system, yang mengakibatkan terangsangnya nociceptor pada saraf perifer pada nilai ambang rangsang yang di teruskan ke korteks cerebri kemudian diterjemahkan ke dalam bentuk nyeri dengan bentuk dan kualitas rangsangan yang berbeda.



Pada prinsipnya nyeri adalah tidak seimbangnya aktivitas antara supresor (nocicencor lebih dominant) dibandingkan dengan depressor pada fase tertentu akibat gangguan suatu jaringan tertentu (Melzack dan Wall 1993).



1) Klasifikasi Nyeri.



Menurut Sarya Negara (1976), nyeri dapat diklasifikasikan menjadi beberapa bagian antara lain :



a. Nyeri Perifer ( Peripheral Pain)



1) Nyeri superficial, berupa rangsangan secara kimiawi, fisik, mekanik pada kulit murkosa, biasanya terasa nyeri tajam di daerah rangsang.



2) Nyeri dalam bila di daerah viscera sendi pleura peritoneum terangsang maka akan timbul rasa nyeri dalam. Umumnya nyeri dalam banyak berhubungan dengan refered pain, keringat banyak, kejang otot di daerah kulit yang berjauhan dari asal nyerinya.



3) Nyeri rujukan (refered Pain), dimana adanya rasa nyeri di daerah yang jauh dari tempat yang di rangsang biasanya terlihat pada nyeri dalam menebarkan nyeri pada superficial, kadang-kadang di samping terjadi rasa nyeri terjadi pada kejang pada otot-otot atau kelainan susunan saraf autonom disertai keringat banyak. Mekanisme nyeri rujuakan disebabkan adanya perangsangan sentripetal terus menerus, internuncial nervous di sum-sum tulang belakang (spinal cord) sehingga menimbulkan pusat yang terangsang, neuron asal segmental sekitarnya terangsang. Akhirnya terjadi nyeri sesegmen dengan area yang mengalami gangguan fungsi, sehingga otot yang sesegmen mengalami spasme/kejang, dan pembuluh darah menyempit.



b. Nyeri Sentral (Sentral Pain)



Seperti syringomedia, tumor otak dan pendarahan yang merupakan rangsangan kepada medulla spinalis, brainstem, thalamus dan korteks serebri, di mana ada yang menimbulkan refered pain di perifer dan ada yang tidak.



c. Nyeri Psikologi (Psychologic Pain)



Penyebab nyeri tidak dapat diketemukan kelainan organic, tetapi si penderita mengeluh nyeri hebat yang berlangsung, biasanya di anggap sebagai “nyeri psikologi “, umumnya berupa sakit kepala, sakit perut dll.



2) Alat / Instrument yang digunakan dalam mengukur nyeri



a. Visual Analogue Scale (VAS)



VAS adalah suatu instrumen yang digunakan untuk menilai intensitas nyeri dengan menggunakan sebuah tabel garis yang panjangnya 10 – 15 cm dengan rentangan skala 1 – 10 atau 10 – 100, dengan rentangan makna :



1 – 2 = tidak nyeri



3 – 4 = kurang nyeri



5 – 6 = nyeri



7 – 8 = lebih nyeri



9 – 10 = sangat nyeri



Cara penilaiannya adalah dengan pensil penderita menandai sendiri pada nilai skala yang sesuai dengan intensitas nyeri yang dirasakannya setelah diberi penjelasan dari peneliti tentang makna dari setiap skala tersebut dalam milimeter.



Hasil pengukuran VAS dan NRS lebih teliti dibandingkan intrumen lain karena memiliki nilai skala yang lebih besar, tetapi pelaksanaan VAS lebih praktis dibandingkan NRS, sebab pada VAS penderita hanya diminta memberikan tanda pada sejauh milimeter sesuai dengan intensitas nyeri yang dirasakannya, tanpa terbebani oleh pemaknaan dari setiap skala seperti pada NRS. Meskipun demikian, VAS memiliki kelemahan untuk memberi tanda pada skala bagi orang tua dan atau mereka yang mengalami gangguan penglihatan, karena itu peneliti harus menuntun mereka dengan sebaik-baiknya. (Jensen et.al, 1986 dalam 9).



b. Model instrumen penilaian intensitas nyeri lainnya, seperti :



- Pain Discomfort Scale (PDS)



- Mc. Gill Pain Questionaire (MPQ)



Namun model-model instrumen tersebut implementasinya dan interpretasinya lebih rumit dan lebih sulit dibandingkan dengan instrumen penelitian intensitas nyeri lainnya.

C. Konsep Interferential Current Theraphy



Interferential current theraphy ( interverensi ) adalah suatu fenomena yang terjadi jika dua atau lebih oscilasi yang secara bersamaan bertemu dalam satu medium sehingga pengertian arus interferential current theraphy adalah penggabungan dua arus bolak-balik yang berfrekwensi 3000-5000 Hz dengan frekwensi efektif yaitu 4000 Hz (menurut Nemec).



Pada tahun 1950, Hans Nemec seorang dokter dari Austria mengadakan eksperimen dengan cara mengaplikasikan dua arus bolak-balik frekwensi menengah dengan menggunakan 4 (empat) electrode, dimana dalam waktu yang bersamaan diaplikasikan frekwensi tersebut, maka terjadi interaksi arus dalam bentuk super posisi, sehingga timbul interferensi dan terbentuklah arus yang baru



Terapi dengan meggunakan arus frekwensi menengah yang dapat menghasilkan interferensi tersebut . akhirnya berkembang dan dikenal dengan istilah “Terapi Arus Interferensi”. Dasar yang penting dari terapi arus interferensi ini adalah “stimulus yang di hasilkan oleh arus interferensi dapat mencapai jaingan yang lebih dalam”.



Pengobatan dengan arus frekwensi menengah menggunakan Alternating Current (Arus boalk-balik) atau Rectified Alternating Current yang berfrekwensi antara 1000 Hz hingga 100.000 Hz. Meskipun Gildemeister bahwa frekwensi terendah adalah 2000 Hz-3000 Hz.



Dalam elektroterapi, arus interferensi dibentuk dengan menggabungkan arus bolak-balik frekwensi menengah, dimana arus yang satu mempunyai frekwensi hingga 4250 Hz. Penentuan lingkup frekwensi tersebut didasari atas efek fisiologis yang ditimbulkan oleh rangsangan arus frekwensi rendah dengan rangsangan arus frekwensi menengah.



Transversal Friction



A. Pengertian Transversal Friction



“Istilah “Friction” berasal dari kata latin “Fricto” yang berarti gosokan. Secara khas friction mengikuti teknik petrissage yang merupakan stroke urutan massage stroke ala Swedia. Friction merupakan stroke kompresi yang cepat, seringkali menghasilkan panas, dapat diaplikasikan secara superficial pada kulit atau pada lapisan jaringan yang lebih dalam (otot), bergantung pada keinginan terapis.



Secara khas, friction dapat dilakukan dengan menggunakan sedikit pelumas (media) atau tanpa media. Pada friction superficial atau general, panas dihasilkan dari gesekan tangan yang kontak dengan permukaan kulit. Pada friction yang lebih dalam, tangan terapis tidak bergeser (slide) di atas kulit melainkan penerapan tekanan yang kuat pada jaringan otot di bawahnya. Panas di bangkitkan ketika terapis mengaplikasikan gesekan yang kuat melawan lapisan serabut otot.



Teknik deep friction seperti cross-fiber friction (Transverse friction)dan circular friction bertujuan untuk mengurangi fragmen atau tightnes otot merusak atau mencegah perlengkatan jaringan parut (scar tissue), serta menyusun kembali serabut otot dan ligament ke dalam pola yang lebih biofungsional. Hal ini dapat disempurnakan dengan memberikan stressing pada formasi jaringan parut melalui deep transverse friction dan stretching pada lokasi injury. Deep friction dapat meningkatkan sirkulasi pada area-area secara normal memiliki pasokan darah yang sedikit atau bahkan tidak ada pasokan darah, seperti ligmen dan tendon. Friction dapat diaplikasikan dengan satu atau dua tangan, atau secara spesifik dengan menggunakan ibu jari, jari telunjuk, elbow, atau lengan bawah.

D. Bentuk Transversal Friction



Ada enam jenis Friction yaitu straight atau longitudinal Friction, Rolling Friction, Chucking (linear) Friction, Wringing Friction, Cross-fiber Friction, dan circular Friction. Variasi-variasi Friction tersebut dapat diaplikasikan dengan gerakan melingkar atau gerakan lurus dengan arah yang berlawanan. Friction dapat diapliaksikan dengan satu tangan atau dua tangan secara spesifik dapat menggunakan ibu jari, jari telunjuk, elbow, atau lengan bawah. Pada umumnya Friction memerlukan penggunaan pelumas atau minyak . Kecepatan gerakan Friction sangat dipengaruhi oleh kuantitas pelumas/minyak. Gerak Friction yang lebih cepat akan membutuhkan lebih banyak pelumas/minyak, dan variasi-variasi deep friction hanya memerlukan sedikit atau tanpa pelumas atau minyak.



BAB III



KERANGKA KONSEP





B. Hipotesis Penelitian



Berdasarkan kajian teori, maka dikemukakan hipotesis penelitian bahwa :



H0 : Tidak terdapat perbedaan penurunan intensitas nyeri antara kelompok yang diterapi dengan Transversal Friction, interferential current theraphy, atau transversal friction + interferential current theraphy.



H1 : Terdapat perbedaan penurunan intensitas nyeri antara kelompok yang diterapi dengan Transversal Friction, interferential current theraphy, atau transversal friction + interferential current theraphy .



BAB IV



METODE PENELITIAN



A. Metode Penelitian



Penelitian ini tergolong Quasi Experiment dengan desain yang digunakan



adalah Randomized Group Design. Kelompok sampel ditentukan dengan melalui



prosedur acak , yaitu semua populasi menjadi sampel, tanpa menggunakan uji



laboratorium dan tanpa kelompokkontrol. Sebelum pemberian terapi dilakukan



pretest, dan dilakukan post test setelah pemberian terapi atau treatment.



B. Variabel Penelitian



1. Variabel Penelitian



Dalam penelitian ini, variabel yang diselidiki ada dua, yaitu variabel bebas dan variabel tidak bebas (terikat). Variabel bebasnya adalah terapi dengan teknik Transversal Friction dan Modalitas interferential current theraphy. Variabel tidak bebasnya adalah nyeri yang diakibatkan oleh traumatic injury.



2. Definisi Operasional Variabel



a. Transversal Friction adalah salah satu modalitas Fisioterapi dalam melakukan



pengobatan dengan menggunakan tehnik cross-fiber friction dimana satu atau



lebih jari tangan di letakkan di atas kulit pada lesi yang tepat dengan tekanan



yang kuat dan konsisten dalam satu arah dengan arah gerakan menyilang dan



tegak lurus terhadap arah serabut otot. Tehnik ini dilakukan dengan repetisi 30



– 45 kali pada area yang lesi.



a. Interferential current theraphy adalah salah satu modalitas Fisioterapi yang



menggunakan arus listrik dengan frekuensi 4000 Hz dan jenis arus yang



continu, dengan AMF dasar 50 Hz dan AMF modifikasi 100 Hz . Arus ini



dihantarkan dengan menggunakan teknik dua ped selama 10 menit.



1. Transversal Friction dan Interferential current theraphy adalah gabungan dua modalitas fisioterapi yang diberikan terhadap penderita traumatic injury otot intercostalis, dimana transversal friction diberikan lebih dahulu kemudian dilanjutkan dengan pemberian modalitas interferential current theraphy.

2. Nyeri adalah perasaan yang tidak enak yang dirasakan oleh penderita akibat adanya cidera pada jaringan lunak seperti pada otot. Adapun kriteria perubahan tingkat nyeri yang di akibatkan oleh pemberian modalitas Fisioterapi yaitu :



d.1. Tingkat nyeri bertambah yaitu apabila nilai VAS meningkat satu level atau



lebih setelah pemberian modalitas.



d.2. Tingkat nyeri menurun yaitu apabila nilai VAS menurun satu level atau lebih



setelah pemberian modalitas.



BAB V



HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN



A. Hasil Penelitian



Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik Fisioterapi Politeknik Ilmu Pelayaran Makassar. Populasi penelitian ini adalah semua pasien Traumatic Injury yang berkunjung di Poli Fisioterapi PIP Makassar. Berdasarkan populasi tersebut kami mendapatkan sampel sebanyak 45 orang dengan rentang usia antara 17 – 25 tahun serta jenis kelamin laki – laki.



Setelah mendapatkan sampel penelitian, kami melakukan pre test yaitu mengukur tingkat nyeri dengan menggunakan instrument Visual Analog Scale ( VAS ). Setelah dilakukan pre test , setiap sampel diberikan perlakuan sesuai dengan kelompok acak yang sudah ditentukan. Sehingga kelompok sampel dibagi dalam tiga perlakuan yaitu ada yang mendapatkan pemberian modalitas interferential curreant therapy, pemberian tenik transversal Friction, serta ada yang mendapatkan perlakuan gabungan kedua modalitas di atas dengan dosis yang sama untuk setiap penderita. Setelah perlakuan dan hari berikutnya dilakukan post test dengan mengukur kembali tingkat nyeri pasien melalui tes VAS untuk melihat adanya perubahan yang terjadi.



1. Analisa Data



Untuk menganalisa data dalam pengujian hipotesis penelitian, maka kami gunakan uji Wilcoxon. Uji Wilcoxon merupakan salah satu uji dalam statistic non-parametrik yang digunakan untuk menguji ada tidaknya pengaruh yang bermakna antara pre test dan post test dalam satu kelompok sampel. Adapun hasil uji Wilcoxon dapat dilihat pada tabel dibawah ini.



Tabel 5. Analisis Pengaruh Tindakan Interferential Current Theraphy Pada Penderita



Kelompok

Sampel

N

Mean

SD

Ranks

Z

P

- Ranks

+ Ranks

Ties

Pre test

15

6,913

0,856

15

0

0

-3,415

0,001

Post test

15

3,987

0,716





Tabel diatas menunjukkan hasil Uji Wilcoxon dan nilai ranks. Dilihat dari nilai ranks, menunjukkan angka 15 pada negatif ranks yang berarti bahwa 15 orang (semua sampel) mengalami penurunan nyeri setelah intervensi. Hasil Uji Wilcoxon menunjukkan nilai Z sebesar -3,415 dengan taraf signifikan 0,001 (nilai p <>Hal ini berarti bahwa ada pengaruh yang bermakna pemberian Interferential Current Therapy terhadap penurunan nyeri pada kondisi traumatic injury.



Tabel 6. Analisis Pengaruh Tindakan Transversal Friction Pada Penderita Traumatic Injury



Kelompok

Sampel

N

Mean

SD

Ranks

Z

P

- Ranks

+ Ranks

Ties

Pre test

15

6,960

0,914

15

0

0

-3,413

0,001

Post test

15

3,227

0,872



Tabel diatas menunjukkan hasil Uji Wilcoxon dan nilai ranks. Dilihat dari nilai ranks, menunjukkan angka 15 pada negatif ranks yang berarti bahwa 15 orang (semua sampel) mengalami penurunan nyeri setelah intervensi. Hasil Uji Wilcoxon menunjukkan nilai Z sebesar -3,413 dengan taraf signifikan 0,001 (nilai p <>Hal ini berarti bahwa ada pengaruh yang bermakna pemberian Transversal Friction terhadap penurunan nyeri pada kondisi traumatic injury.





Tabel 7. Analisis Pengaruh Tindakan Gabungan Interferential Current Theraphy dan



Kelompok

Sampel

N

Mean

SD

Ranks

Z

P

- Ranks

+ Ranks

Ties

Pre test

15

6,553

0,619

15

0

0

-3,411

0,001

Post test

15

2,207

0,670



Tabel diatas menunjukkan hasil Uji Wilcoxon dan nilai ranks. Dilihat dari nilai ranks, menunjukkan angka 15 pada negatif ranks yang berarti bahwa 15 orang (semua sampel) mengalami penurunan nyeri setelah intervensi. Hasil Uji Wilcoxon menunjukkan nilai Z sebesar -3,411 dengan taraf signifikan 0,001 (nilai p <>. Hal ini berarti bahwa ada pengaruh yang bermakna pemberian Interferential Current Therapy dan Transversal Friction terhadap penurunan nyeri pada kondisi traumatic injury.



Tabel 8. Analisa Pengaruh Perbandigan terhadap selisih nilai VAS antara kelompok Interferential Current Therapy, Transversal Friction, dan kelompok gabungan



Kelompok Sampel

N

Mean/rerata

SD

X2

p

Selisih VAS

Klp Interferential Current Therapy

15

2,927

0,296

29,255

0,000

Klp Transversal Friction

15

3,733

0,486

Klp Gabungan

15

4,347

0,545





Tabel diatas menunjukkan nilai X2 sebesar 29,255 dengan taraf signifikan 0,000 (nilai p <>0) ditolak yaitu ada perbedaan pengaruh yang bermakna antara pemberian Interferential Current Therapy, Transversal Friction dan pemberian terapi gabungan (Interferential Current Therapy + Transversal Friction) terhadap penurunan nyeri pada kondisi traumatik injury. Dilihat dari nilai rerata antara 3 kelompok tersebut menunjukkan bahwa kelompok terapi gabungan (Interferential Current Therapy + Transversal Friction) memiliki nilai rerata selisih VAS yang tertinggi yaitu 4,347. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pemberian terapi gabungan (Interferential Current Therapy + Transversal Friction) paling efektif dari pada terapi Interferential Current Therapy dan terapi Transversal Friction terhadap penurunan nyeri pada kondisi traumatic injury.



B. PEMBAHASAN



Sampel penelitian adalah mahasiswa/taruna yang berusia antara 17 – 25 tahun. Hasil pengumpulan data menunjukkan bahwa lebih banyak yang mengalami traumatik injury pada otot dibandingkan jaringan lainnya, kemudian lebih banyak yang terkena adalah usia 21 – 22 tahun. Hal ini disebabkan karena otot merupakan jaringan aktif yang terlibat aktif dalam semua gerakan yang terjadi, sehingga kemungkinan besar dapat terjadi cidera pada otot. Para mahasiswa/taruna secara rutinitas melakukan latihan fisik dan olahraga setiap hari. Kondisi ini membuat otot bekerja kuat dengan kontraksi memanjang atau memendek dalam berbagai gerakan. Hal ini menyebabkan peluang terjadinya cidera atau traumatik injury pada otot. Sedangkan kelompok usia 21 – 22 tahun berdasarkan pengumpulan data adalah terbanyak yang terkena traumatik injury, hal ini karena semakin meningkatnya intensitas latihan fisik dan olahraga yang dijalani selama pendidikan di Politeknik Ilmu Pelayaran Makassar, sehingga menghasilkan peluang besar terjadinya cidera atau traumatik injury.



Pada traumatik injury, kerusakan jaringan lunak menyebabkan nociceptor terangsang dan diteruskan ke korteks cerebri yang kemudian diterjemahkan dalam bentuk nyeri. Pemberian interferential therapy dapat merangsang serabut saraf bermyelin tebal atau berukuran besar (II dan IIIa) sehingga aktivitas serabut saraf tersebut dapat menghambat impuls nyeri yang dibawa oleh nociceptor. Adanya blokade terhadap impuls nyeri, secara bertahap akan menyebabkan penurunan nyeri. Sesuai dengan “Gate Control Theory” yang menjelaskan bahwa impuls serabut-serabut saraf berdiameter kecil dengan nilai ambang rangsang tinggi bersifat membuka “pintu gerbang” impuls nyeri di lamina gelatinosa cornu dorsalis medula spinalis sehingga berperan sebagai fasilitator pengiriman impuls ke tingkat yang lebih tinggi pada SSP. Kemudian, fungsi inhibitor yang bekerja menutup “pintu gerbang” dilakukan oleh impuls-impuls yang dibawa oleh serabut-serabut saraf berdiameter besar (mekanoreseptor) dan mempunyai nilai ambang rangsang rendah (Nugroho DS, 2001). Hasil penelitian juga menunjukkan adanya penurunan nyeri yang bermakna (nilai p = 0,001 <>



Pemberian transversal friction dapat menghasilkan efek penurunan nyeri, efek mekanikal dengan menghancurkan perlengketan jaringan, dan efek hyperemia. Aplikasi transversal friction dengan gosokan yang gentle dapat menghasilkan efek analgesik pada cidera jaringan lunak. Menurut Cyriax, penurunan nyeri selama friction dan setelah friction disebabkan oleh modulasi impuls nosiseptive pada level medulla spinalis yang dikenal dengan “gate control theory”. Proyeksi sentripetal kedalam cornu dorsalis medulla spinalis dari sistem reseptor nosiseptive akan di inhibisi oleh aktivitas mekanoreseptor yang terjadi secara bersamaan pada jaringan yang sama. Stimulasi yang selektif dari mekanoreseptor dihasilkan dari gerakan friction yang gentle dan ritmikal diatas area yang terganggu sehingga menutup pintu gerbang untuk nyeri. Cyriax juga menyatakan bahwa deep transverse friction pada area yang terganggu dapat menurunkan gangguan perifer jaringan saraf yang disertai efek analgesik lokal. Hasil penelitian juga menunjukkan adanya penurunan nyeri yang bermakna (nilai p = 0,001 <>

Baik aplikasi interferential therapy maupun transversal friction sama-sama dapat menghasilkan penurunan nyeri yang bermakna. Terapi gabungan yang mengaplikasikan interferential therapy dan transversal friction dapat menghasilkan penurunan nyeri yang lebih besar dari pada terapi interferential saja dan terapi friction saja. Dilihat dari hasil penelitian menunjukkan adanya rata-rata penurunan nyeri yang lebih besar pada terapi gabungan yaitu 4,347 dari pada rata-rata penurunan nyeri yang dihasilkan oleh terapi friction saja yaitu 3,733 dan terapi interferential saja yaitu 2,927. Hasil uji Kruskal Wallis juga menunjukkan adanya perbedaan pengaruh yang bermakna antara hasil terapi gabungan dengan terapi interferential saja dan terapi friction saja. Melihat efek penurunan nyeri yang sama-sama dihasilkan oleh terapi interferential dan friction maka jika digabungkan kedua terapi tersebut akan menghasilkan efek penurunan yang lebih besar.





BAB VI



PENUTUP



A. KESIMPULAN



Berdasarkan hasil penelitian yang telah diuraikan diatas, maka dapat disimpulkan sebagai berikut :



Aplikasi interferential current therapy dapat menghasilkan penurunan nyeri yang bermakna pada kondisi traumatik injury, dengan rata-rata penurunan nyeri sebesar 2,927.Aplikasi transversal friction dapat menghasilkan penurunan nyeri yang bermakna pada kondisi traumatik injury, dengan rata-rata penurunan nyeri sebesar 3,733. Aplikasi terapi gabungan dapat menghasilkan penurunan nyeri yang bermakna pada kondisi traumatik injury, dengan rata-rata penurunan nyeri sebesar 4,347.



Aplikasi terapi gabungan lebih berpengaruh dalam menurunkan nyeri dari pada aplikasi interferential current therapy saja dan aplikasi transversal friction saja, karena menghasilkan penurunan nyeri yang lebih besar dan perbedaan hasil terapi yang bermakna.



B. SARAN-SARAN



Berdasarkan kesimpulan yang telah diuraikan diatas, dalam rangka memberikan pelayanan Fisioterapi yang lebih optimal terhadap penderita traumatic injury maka diajukan beberapa saran sebagai berikut :



1. Disarankan agar tenaga Fisioterapi yang ada di rumah sakit dan klinik lebih meningkatkan wawasan dan pengetahuan dalam menggunakan modalitas terpilih dalam menangani kondisi Fisioterapi terutama pada kondisi traumatic injury.



2. Disarankan agar tenaga Fisioterapi yang ada di rumah sakit dan klinik dalam memberikan pelayanan Fisioterapi pada kondisi traumatic injury sebaiknya meggunakan modalitas Interferential Current Therapy dan Tehnik Transversal Friction sebagai modalitas terpilih.



3. Disarankan agar Fisioterapi yang ada di rumah sakit, klinik, dan akademik agar berusaha meningkatkan kemampuan dan keterampilan dalam memberikan pelayanan fisioterapi dengan mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sehingga mampu memperlihatkan ciri Fisioterapi yang professional.



4. Disarankan agar tenaga Fisioterapi yang ada di rumah sakit dan klinik lebih mengupayakan tindakan promotif guna menambah pengetahuan dan wawasan masyarakat dan profesi kesehatan yang lain tentang bentuk pelayanan Fisioterapi khususnya dalam menangani kondisi traumatic injury.





DAFTAR PUSTAKA



Ahmad Arisandi, Studi Tentang Friction pada Penderita Nyeri Akibat



Myofascial Trigger Point di Klinik Medisakti. Akademi



Fisioterapi Makassar, 2001.



Dr. A.N. de Wolf, J.M.A.Mens, Pemeriksaan Alat Penggerak Tubuh , Bohn



Stafleu Van Loghum Houten / Zaventeum 1994.



Ann Thomson, Alison Skinner and John Pierey, Tidys Phsioteraphy, Butter



Worth Heinemann London 1991.



Ann H. Downer , Physical Theraphy Procedures, Charles Thomas United State



of America 1988.



Drs. Djohan Aras A.FT, M.Pd, Diktat Sumber Fisis I dan II, Akademi



Fisioterapi Dep Kes Makassar 1998.



Drs. Heri Priatna, S. St. Ft, SKM, MM, Fragmentasi Pelayanan Sport Of



Physical Therapi, Jakarta 2005.



Good Man and Boisson Nault, Pathology Implication For The Physical



Therapist, W.B Saunders Company. United Satae of America,



1998.



J.Duncan Mac Dougall, Physiological Testing of The Athlete, MC Master



University, Hamilton Ontario1982



Leon Chaitow, Modern Neuromusclar Techniques, Churchill Livingstone 2003.



Marilyn Moffat, PT, PhD, FAPTA and Steve Vickery, Body Maintenance and



Repair, American Physical Therapy Association, Amerika



1999.



Nugroho, DS, Neurofisiologi Nyeri dari Aspek Kedokteran , Akademi



Fisioterapi Surakarta 2004.



Nicola J Petty Ann P Moore, Neuromusculskeletal Examination and Assesment,



Churchill Livingstone 2001.



Olaf Eusent and Jern Humberg, Muscle Stretching in Manual Therapy, Alfa



Rehab Forlag Sweden 1988.



Paul Goodyer, Technique In Musculoskeletal Rehabilitation, United State of



America 2001.



S.S. Adler D Becker and M. Buck, PNF in Practice, Springer Verlag Berlin



Heidelberg New York 2000.



Dr. Satya negoro M.D, Teori dan Terapi Nyeri, Fakultas Kedokteran Universitas



Indonesia, Jakarta 1978.



Thomas W Myers, Anatomi Trains ( Myofscial Meridians For Manual and



Movement Therapist ), Churchill Living Stone, New York



2001.



Wemer Leupian, Physical Theraphy For Sports, W.B Saunders Company,



Philadelphia 1982.



William E. Prentice, Therapeutic Modalities For Sport Medicine and Athletic



Training, MC Graw Hill Higher Education New York



America 2003.



John V. Basmajian and Charles E. Slonecker, Metode Anatomi Berorientasi



pada Klinik, Bina Rupa Aksara, Jakarta 1995.



Waldman, Physical Diagnosis of Pain An Atlas of Sign and Symptoms, Elsevier



Saunders, Missiory 2004.