Penatalaksanaan Fisioterapi Pada Kasus Guillain-Barre Syndrome




PENDAHULUAN
Guillain-Barre Syndrome (GBS) adalah salah satu penyakit 'demyelinating' saraf (Nolte 1999). Juga merupakan salah satu polineuropati, karena hingga sekarang belum dapat dipastikan penyebabnya. Namun karena kebanyakan kasus terjadi sesudah proses infeksi, diduga GBS terjadi karena sistem kekebalan tidak berfungsi. Gejalanya adalah kelemahan otot (parese hingga plegia), biasanya perlahan, mulai dari bawah ke atas. Jadi gejala awalnya biasanya tidak bisa berjalan, atau gangguan berjalan. Sebaliknya penyembuhannya diawali dari bagian atas tubuh ke bawah, sehingga bila ada gejala sisa biasanya gangguan berjalan (Fredericks et all 1996).
Meskipun orang yang terjangkit penyakit ini bisa mengalami kelumpuhan total, prognosisnya bagus. Enam bulan setelah terserang, 85% dari kasus yang dilaporkan sembuh. Secara keseluruhan hanya 5% yang meninggal akibat GBS (Fredericks et all 1996). Oleh karenanya, disamping perawatan pada tahap akut, tata laksana fisioterapi akan sangat menentukan prognosis, apakah akan ada gejala sisa atau sembuh total.


Makalah ini akan membahas secara singkat patologi Guillain-Barre Syndrome, dan secara mendetail akan membahas problem dan penatalaksanaan fisioterapi, baik dalam tahap akut maupun kronis.

I. Guillain-Barre Syndrome
Pemeriksaan secara patologis pada saraf penderita penyakit Guillain-Barre Syndrome menunjukkan kalau terjadi proses penghancuran selaput myelin pada saraf tepi. Baik pada pangkalnya (akar saraf) ataupun pada bagian yang lebih ujung (distal). Pada umumnya yang terserang akar saraf tulang belakang bagian depan (anterior root nerves of spinal cord), tetapi tidak menutup kemungkinan akar saraf bagian belakang (posterior root nerves of spinal cord). Uniknya selaput myelin yang terserang dimulai dari saraf tepi paling bawah, terus naik ke saraf tepi yang lebih tinggi (Fredericks et all 1996, dan Nolte 1999).

Fungsi selaput myelin adalah mempercepat konduksi saraf. Oleh karenanya hancurnya selaput ini mengakibatkan keterlambatan konduksi saraf, bahkan mungkin terhenti sama sekali (Nolte 1999). Sehingga penderita GBS mengalami gangguan motor dan sensorik. Kelambatan kecepatan konduksi otot bisa dilihat dari hasil pemeriksaan EMG. Disamping itu, hancurnya selaput myelin mungkin juga menyerang cranial nerves (Pryor & Webber 1998) termasuk diantaranya nervus vagus, yang merupakan bagian dari sistem saraf otonomik. Oleh karena itu, bila saraf yang terserang cukup tinggi tingkatnya, sistem saraf otonomik mungkin saja terganggu. Selain nervus vagus, cranial nerves yang lain mungkin saja terserang, misalnnya saraf ke-XI.

Gangguan motorik yang pada GBS diawali dengan kelemahan otot bagian bawah. Mula-mula yang dirasakan kelemahan (parese), bila berlanjut menjadi lumpuh (plegia). Diawali dari gangguan berjalan, seperti misalnya kaki 'terseret', hingga tidak bisa berdiri. Perlahan-lahan kelemahan 'naik' otot lebih tinggi, seperti lutut dan paha, sehingga penderita tidak bisa berdiri. Bila yang berlanjut kelemahan otot bisa terjadi pada otot di sepajang tulang punggung, punggung dan dada. Terus hingga ke tangan dan lengan. Bila otot-otot pernafasan terganggu, akan terjadi kelemahan dalam bernafas. Penderita merasa nafasnya berat.

Kadang-kadang gejala GBS juga disertai gangguan saraf otonomik, sehingga akan terjadi gangguan saraf simpatik dan para simpatik. Yang tampak adalah gejala naik-turunnya tekanan darah secara tiba-tiba, atau pasien berkeringat di tempat yang dingin (Pryor & Webber 1998). Bila terjadi gangguan cranial nerves akibatnya adalah tidak bisa menelan, berbicara atau bernafas, atau kelemahan otot-otot muka. Uniknya kelemahan otot biasanya simetris, artinya anggota badan yang kiri mengalami kelemahan yang sama dengan anggota badan kanan.

Selain gangguan motorik, biasanya juga disertai gangguan sensorik. Gangguannya bisa berupa rasa kesemutan, 'terbakar', tebal, atau nyeri. Pola penyebaran gangguan sensorik biasanya tidak sama dengan gangguan motorik. Gangguan sensorik bisa berpindah dari waktu ke waktu (Fredericks et all 1996).

Sebagai akibat dari gangguan motorik dan sistem saraf otonomik, terjadi gangguan kardiopulmonari. Berawal dari nafas berat, oleh karena kelemahan otot pernafasan (baik otot intercostal maupun diafragma), hingga gangguan ritmik oleh karena gangguan saraf otonomik. Akibatnya fungsi paru menjadi terganggu. Paru tidak bisa mengembang secara maksimal akibatnya kapasitas vital menurun, dan bisa menimbulkan atelektasis. Bila kondisi ini berlanjut, bisa terjadi infeksi paru, pneumonia, yang akan memperburuk kondisi. Ditambah kenyataannya pasien dalam kondisi seperti di atas biasanya hanya terbaring, posisi yang hanya akan menurunkan fungsi paru (Pryor & Webber 1998). Bila fungsi glotis terganggu, akibat terganggunya sistem otonomik, penderita mungkin akan tersedak. Sehingga makanan masuk ke saluran pernafasan, dan akan menambah infeksi paru.

Akibat terganggunya saraf otonomik, irama jantung juga terganggu. Sehingga tekanan darah bisa naik-turun secara mendadak, atau 'flushing', yaitu muka memerah secara mendadak.

Gejala-gejala tersebut akan terus muncul dalam waktu maksimal 2 minggu. Sesudah itu akan berhenti, hingga proses penyembuhan terjadi sekitar 2 sampai 4 minggu sesudah kelemahan berhenti.

II. Problem Fisioterapi
Berdasarkan penjabaran di atas dapatlah disebutkan ada 4 problem dasar dari sisi pandang fisioterapi, yaitu problem muskuloskeletal, kardiopulmonari, otonomik dan sensorik. Dalam bab ini akan dibahas secara mendetail masing-masing problem.

2.1. Muskuloskeletal
Gangguan muskuloskeletal yang menonjol adalah berkurangnya kekuatan otot. Seperti disebutkan di atas, kelemahan otot disebabkan oleh terhambatnya atau terhentinya konduksi saraf dari spinal cord ke neuromusculo junction, yang satuannya disebut motor unit. Satu motor unit adalah beberapa serat otot yang mendapatkan inervasi oleh satu motor neuron (Fredericks et all 1996). Saraf yang menginervasi motor neuron berasal dari akar saraf tulang belakang. Satu akar saraf bisa menginervasi ribuan motor neuron. Sebaliknya satu otot mungkin disarafi oleh beberapa motor neuron yang berasal dari beberapa akar saraf tulang belakang (Martini 1998). Jadi bila ada satu akar saraf mengalami gangguan, maka sebagian serabut otot tidak mendapatkan inervasi; sedangkan serabut otot yang mendapat innervasi dari akar saraf lain masih mendapatkan konduksi saraf.

Kelumpuhan (plegia) terjadi akibat banyaknya motor unit, atau semua, dalam satu otot yang tidak terkonduksi, sehingga otot tersebut tidak bisa dikontraksikan. Sedangkan kelemahan (parese) terjadi akibat hanya sebagian motor unit dalam satu otot yang masih terkonduksi saraf, sehingga masih mampu untuk mengkontraksikan otot tersebut. Oleh karena hanya sebagian serabut otot yang terinervasi yang bekerja untuk menggerakkan satu otot, penderita GBS lebih cepat lelah.

Selanjutnya bila otot tidak bisa berkontraksi berarti bagian badan tersebut tidak bergerak. Bila hal ini terjadi dalam kurun waktu lama, yang akan terjadi bukan hanya kekuatan otot yang terganggu, tetapi juga akan terjadi pemendekan otot, dan keterbatasan luas gerak sendi (LGS). Jadi akibat berkurangnya konduksi saraf, akan mengurangi jumlah motor unit yang bekerja, bahkan mungkin tidak ada sama sekali, sehingga kelemahan otot atau lumpuh sama sekali, dan akan terjadi pemendekan otot, dan pada akhirnya keterbatasan LGS.

2.2. Kardiopulmonari
Hal yang sama juga terjadi bila proses kerusakan selaput myelin terjadi pada tingkat akar saraf thoracal, karena akan terjadi kelemahan otot-otot pernafasan, yakni otot intercostal. Bahkan bila menyerang tingkat cervical, diafragma mengalami gangguan juga (Martini 1998). Akibatnya bahkan semakin rumit. Oleh karena otot-otot intercostal, mungkin juga diafragma, berkurang kekuatannya, maka ekspansi dada berkurang.

Hal ini berakibat berkurangnya kapasitas vital paru, sehingga fungsi ventilasi juga menurun. Akibat kapasitas vital menurun, kemampuan batuk pun menurun. Sehingga kemampuan untuk membersihkan saluran pernafasan menjadi berkurang.

Keadaan ini diperburuk oleh kenyataan bahwa penderita yang mengalami kelemahan otot paru hanya mampu berbaring. Dalam posisi berbaring, kapasitas paru semakin berkurang karena pengaruh gravitasi terhadap posisi paru. Akibat gravitasi juga, otot-otot pernafasan yang sudah lemah tersebut, semakin berat melakukan ekspansi paru. Berkurangnya daya ekspansi paru berakibat terjadinya atelektasis, sehingga fungsi ventilasi paru berkurang (Pryor & Webber 1998).

Resiko infeksi paru tinggi bila terjadi gangguan menelan, akibat terserangnya cranial nerves yang bersangkutan. Karena gangguan menelan tersebut, makanan bisa masuk ke saluran pernafasan, yang akan menjadi sumber penyebab infeksi paru. Terjadinya infeksi paru akan meningkatkan kebutuhan ventilasi. Sebaliknya infeksi paru juga menurunkan kemampuan pertukaran gas di paru. Sehingga perbedaan kebutuhan ventilasi dan kemampuan ventilasi paru akan sangat besar, yang akan memperburuk kondisi pasien.

2.3. Sistem Saraf Otonomik
Selain gangguan kardiopulmonari, bila kerusakan selaput myelin mencapai tulang belakang tingkat thoracal, maka akan terjadi juga gangguan saraf otonomik simpatik. Bila gangguan selaput myelin mencapai saraf vagus (salah satu cranial nerves) akan terjadi gangguan parasimpatik. Oleh karena saraf-saraf tepi otonomik berakar dari akar saraf yang keluar dari antara tulang belakang thoracal dan saraf vagus (Martini 1998). Gangguan yang biasanya tampak adalah naik turunnya tekanan darah, keringat yang berlebihan, ataupun postural hipotensi.

Kecuali gangguan tekanan darah yang naik turun secara tiba-tiba, dan menelan, gangguan-gangguan tersebut tidak akan banyak mempengaruhi program fisioterapi. Tetapi dalam memberikan pengobatan fisioterapi hendaknya selalu mengawasi tanda-tanda tersebut, terutama bila hendak memberikan perubahan posisi yang berarti atau mobilisasi.

2.4. Sensasi
Gejala lain yang dirasakan penderita GBS adalah gangguan rasa (sensasi). Gangguan rasa yang dirasakan adalah kesemutan, tebal, rasa terbakar, ataupun nyeri (Fredericks et all 1996). Pola penyebarannya tidak teratur dan tidak simetris, bisa berubah setiap saat. Meskipun gangguan tersebut tidak berbahaya, tetapi gangguan rasa tersebut menimbulkan rasa tidak nyaman. Rasa nyeri kadangkala juga terjadi akibat sebuah sendi tidak digerakkan dalam waktu tertentu. Jadi kadangkala nyeri murni disebabkan oleh gangguan sensasi, tetapi kadangkala juga disebabkan oleh kombinnasi gangguann sensasi dan sendi yang sudah lama tidak digerakkan.

Selain gangguan rasa yang berakibat tidak nyaman, gangguan sensasi juga bisa menyebabkan komplikasi. Misalnya gangguan rasa tebal, disertai kelemahan otot, bisa menyebabkan dekubitus. Oleh karenanya perlu dipikirkan untuk pencegahannya.

III. Penatalaksanaan Fisioterapi
Penatalaksanaan fisioterapi pada penderita GBS harus dimulai sejak awal, yaitu sejak kondisi pasien stabil. Oleh karena perjalananan penyakit GBS yang unik, ada dua fase yang perlu diperhatikan dalam memberikan fisioterapi. Yang pertama adalah fase ketika gejala masih terus berlanjut hingga berhenti sebelum kondisi pasien terlihat membaik. Pada fase tersebut yang diperlukan adalah mempertahankan kondisi pasien, meskipun kondisi pasien akan terus menurun.

Sedangkan yang kedua adalah pada fase penyembuhan, ketika kondisi pasien membaik. Pada fase ini pengobatan fisioterapi ditujukan pada penguatan dan pengoptimalan kondisi pasien. Pada fase pertama penekanan pada semua problem menjadi sangat penting. Sedangkan pada fase kedua hanya problem muskuloskeletal dan kardiopulmari yang menjadi penekanan. Secara keseluruhan penatalaksanaan fisioterapi ditujukan pada pengoptimalan kemampuan fungsional.

Meskipun ada 4 komponen problem dari sudut fisioterapi, penatalaksanaannya tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain. Oleh karenanya sulit memisahkan satu masalah dengan masalah yang lain. Penulis berusaha memisahkan penatalaksanaan fisioterapi berdasarkan tiap problem, sesuai dengan penguraian problem di atas supaya lebih detail. Tetapi pada prakteknya, pemberian fisioterapi tidak dapat dipisahkan satu dari yang lain.

3.1. Penatalaksanaan Fisioterapi pada Problem Muskuloskeletal
Seperti telah disebutkan di atas, masalah muskuloskeletal adalah penting baik pada fase pertama maupun kedua oleh karena bukan hanya motorik adalah masalah utama penderita GBS, tetapi juga skeletal sebagai akibat dari gangguan motorik. Pada fase pertama yang perlu diberikan adalah mempertahankan kekuatan otot, panjang otot, luas gerak sendi (LGS), tanpa melupakan bahwa kondisi pasien masih akan terus memburuk dalam waktu maksimal 2 minggu.

Bila panjang otot dan LGS terus terjaga pada fase pertama, fisioterapi pada fase kedua ditekankan peningkatan kekuatan otot, dengan tetap memperhitungkan jumlah motor unit yang kembali bekerja.

3.1.1. Penatalaksanaan pada masalah kekuatan otot
Pada fase pertama, program awal yang bisa diberikan adalah latihan aktif, bila memungkinkan. Bila penderita tidak mampu menggerakkan sendiri anggota badannya, sebaiknya bantuan diberikan (=aktif asistif). Bila kemudian kondisi kelemahan otot sangat menonjol, latihan pasif harus diberikan; artinya fisioterapis yang menggerakkan angota badan penderita. Oleh karena dalam fase ini, kondisi penderita akan menurun, maka biasanya bantuan yang diberikan fisioterapis kepada pasien semakin banyak dari waktu ke waktu.

Sebaiknya seorang fisioterapis mempunyai sistematis dalam menggerakkan anggota tubuh pasien, sehingga tidak ada bagian yang terlewati. Selain itu fisioterapis juga akan bisa sekaligus mengamati perkembangan motorik pasien bila dilakukan secara sistematis. Dianjurkan menggerakkan anggota tubuh dari bawah, sehingga akan diakhiri dengan bagian tubuh yang terkuat. Secara psikis hal ini juga akan sangat membantu motivasi pasien. Selain menggerakkan bagian tubuh secara sistematis, juga sebaiknya arah gerakan tiap sendi dibuat secara sistematis, sehingga tidak ada gerakan otot yang tertinggal.

Dalam menggerakkan anggota badan, sebaiknya fisioterapis mengamati tingkat toleransi pasien terhadap latihan. Jangan sampai pasien dibiarkan terlalu lelah atau memaksa menggerakkan anggota tubuh, karena akan merusak motor unit. Berikan kesadaran kepada pasien bahwa pada waktunya ototnya akan kembali bergerak, asalkan dilakukan gerakan secara rutin. Bagi pasien GBS, frekuensi latihan seharusnya tidak terlalu tinggi dalam satu sesi, untuk mencegah kelelahan, mengingat jumlah motor unit yang bekerja hanya terbatas. Intensitas latihan dalam sehari bisa ditingkatkan dengan melakukan lebih banyak sesi dalam sehari.

Penatalaksanaan pada fase kedua tidak jauh berbeda dengan fase sebelumnya. Sasaran utama pada fase ini adalah peningkatan kekuatan otot. Meskipun demikian latihan yang diberikan masih harus tidak boleh terlalu berat, karena jumlah motor unit yang aktif terbatas. Program latihan aktif seharusnya ditingkatkan bila penderita sudah mampu melakukan latihan aktif dan memenuhi LGS normal tanpa kesulitan. Latihan kemudian meningkat menjadi aktif resistif, artinya menggunakan beban unntuk meningkatkan kekuatan otot.

Jenis latihan bisa bervariasi, bisa menggunakan beban manual, artinya fisioterapis memberikan beban secara manual, hingga latihan dengan alat, seperti misalnya quadricep bench. Dalam memberikan program latihan, hendaknya selalu diingat bahwa tujuan akhir program fisioterapi adalah memaksimalkan kemampuan fungsional. Jadi dalam meningkatkan kekuatan otot, perlu diingat otot-otot mana saja yang diperlukan dalam beraktivitas, atau mensiasati bila ada keterbatasan.

Untuk mengukur perubahan kondisi pasien, bisa digunakan pengukuran kekuatan otot (MMT- manual muscles testing). Tentu saja pada fase pertama kekuatan pasien tidak akan mengalami kenaikan, sesuai dengan perjalanan penyakit. Tetapi pengukuran kekuatan terakhir pasien, saat kekuatan biasanya berhenti sebelum kemudian membaik, bisa dijadikan titik balik pengukuran pada tahap berikutnya. Sebaiknya pengukuran dilakukan secara berkala, misalnya tiap minggu, atau tiap 3 hari. Dengan demikian fisioterapis maupun penderita bisa melihat perkembangan yang terjadi, yang mungkin juga akan menjadi motivasi keduanya.

3.1.2 Penatalaksanaan pada Luas Gerak Sendi (LGS)
Bersamaan dengan digerakkannya otot anggota tubuh penderita, bisa dikatakan semua sendi sudah digerakkan. Hanya perlu diingat bahwa pada fase pertama, otot penderita GBS biasanya tidak mampu menggerakkan LGS secara penuh. Oleh karenanya fisioterapis perlu membantu penderita untuk menggerakkan sendi sesuai dengan luas gerak sendi yang normal, minimal yang fungsional.

Sama seperti memberikan latihan untuk otot, menggerakkan sendi sebaiknya juga dilakukan secara sistematis supaya tidak ada yang tertinggal. Sesudah gerakan aktif setiap sendi oleh penderita, sebaiknya ditambahkan 2 sampai 3 kali gerakan sendi oleh fisioterapis dalam LGS maksimal untuk mempertahankan LGS. Berbeda dengan program untuk kekuatan otot, untuk mempertahankan sendi sama pada fase pertama dan kedua.

Ukuran yang dipergunakan untuk mengukur luas gerak sendi adalah pengukuran sudut setiap sendi. Alat yang digunakan adalah goniometer. Pengukurannya dilakukan dengan satuan derajat. Dalam satu institusi biasanya disepakati sistem apa yang digunakan, posisi penderita dan posisi goniometer pada setiap sudut pengukuran. Seharusnya tidak akan ada perubahan LGS dari waktu ke waktu, agar pada akhirnya penderita masih mempunyai kemampuan fungsional yang maksimal.

3.1.3. Penatalaksanaan pada Panjang Otot
Pada saat melakukan latihan untuk mempertahankan LGS, sebagian besar otot juga terpelihara panjangnya. Kecuali beberapa otot yang panjangnya melewati dua sendi. Untuk otot-otot tersebut, perlu gerakan khusus untuk mempertahankan panjangnya. Otot-otot seperti quadricep, iliotibial band, sartorius adalah contoh otot yang melewati dua sendi. Otot-otot tersebut penting dalam kegiatan sehari-hari, misalnya duduk, bersila atau bersimpuh. Sehingga bila panjang ototnya tidak terpelihara, maka akan berpengaruh pada aktivitas penderita bila sembuh nanti.

Agak sulit membuat pengukuran panjang otot, oleh karena panjang otot tiap individu akan berbeda tergantung pada aktivitas dan keturunan. Karenanya untuk mengetahui panjang otot yang normal, secara nalar, berarti fisioterapis harus tahu penderita sebelum menderita GBS. Kenyataannya hal itu tidak mungkin terjadi. Sehingga salah satu cara untuk mengetahui panjang otot adalah menanyakan aktivitas penderita, apakah penderita biasa bersila, duduk sambil menumpangkan kaki atau bersimpuh.

Dengan demikian bisa diukur apakah panjang otot yang bersangkutan cukup untuk kembali melakukan kembali aktivitasnya. Cara lain yang bisa digunakan adalah membandingkan otot sebelah kiri dan kanan, karena biasanya keduanya mempunyai panjang otot yang sama. Pencatatannya baru dilakukan bila ada keterbatasan panjang otot.

3.2. Penatalaksanaan pada Problem Kardiopulmonari
Masalah kardiopulmonari lebih menonjol pada fase pertama. Pada kasus GBS yang berat, terjadi kelemahan otot-otot intercostal disebabkan karena berkurangnya jumlah motor unit yang terkonduksi. Akibatnya tidak dapat melakukan inspirasi secara penuh, sehingga kapasitas vital menjadi berkurang. Seperti yang telah disebutkan di atas, menurunnya kemampuan batuk, akan menurunkan kemampuan untuk membersihkan saluran pernafasan. Sehingga saluran pernafasan semakin menyempit, dan ekspansi paru menjadi berkurang juga. Sehingga pada akhirnya kembali terjadi penurunan kapasitas vital.

3.2.1. Penatalaksanaan pada Kemampuan Ekspansi Dada
Berbeda dengan masalah muskuloskeletal yang lain, latihan pasif tidak bisa dilakukan dengan mudah. Latihan pasif hanya bisa dilakukan dengan bantuan ventilator atau manual hyperinflation. Dengan terpenuhinya volume sesuai dengan kapasitas vital, maka pertukaran gas dalam alveoli menjadi meningkat dan mampu memenuhi kebutuhan ventilasi. Selain itu juga memelihara kelenturan jaringan-jaringan lunak disekitarnya, sehingga LGS persendian disekitar tulang rusuk terpelihara.

Dengan demikian bila kekuatan otot interkostal sudah kembali membaik, rongga dada sudah siap kembali mengembang.Bila otot intercostal dan diafragma sudah menigkat, maka latihan penguatan harus segera diberikan. Oleh karena tekanan positif yang diberikan lewat ventilator dan manual hyperinflation bisa memberikan efek samping, seperti barotrauma. Maka latihan aktif harus segera diberikan. Pemberian latihan masih harus memperhatikan aturan rendah frekuensi dalam satu sesi dan banyak sesi dalam sehari. Ini berarti harus diberikan kesempatan istirahat cukup bagi penderita diantara sesi latihan, untuk menghindari kelelahan.

3.2.2. Penatalaksaaan pada Pembersihan Saluran Pernafasan
Dalam keadaan normal, setiap hari dihasilkan sekitar 100 ml sekresi saluran pernafasan dalam sehari. Pembersihan dilakukan sebagai bagian dari sistem pertahanan, yakni didorong oleh cilia yang kemudian tertelan. Bila sekresi yang dihasilkan lebih dari normal, atau ada kegagalan kerja cilia, maka diperlukan mekanisme batuk untuk mengeluarkannya dari saluran pernfasan. Agar bisa meletupkan batuk yang kuat, seseorang harus bisa menghirup cukup volume udara.

Sehingga seorang penderita GBS dengan kelemahan otot pernafasan yang menonjol tidak mampu melakukan batuk yang kuat untuk mengeluarkan sekresi. Bila sekresi dibiarkan menumpuk, maka diameter saluran pernafasan akan menyempit. Ini berarti volume udara yang bisa masuk ke paru berkurang, sehingga kemampuan ventilasi menjadi berkurang.

Pada fase awal, pada penderita GBS dengan kelemahan otot pernafasan yang menonjol, pembersihan saluran pernafasan bisa dilakukan dengan bantuan ventilator atau manual hyperinflation. Dengan teknik tertentu, maka panjang ekspirasi bisa diperpendek, sehingga kecepatan udara yang keluar pada waktu ekspirasi bisa meningkat. Dengan demikian sekresi saluran pernafasan bisa dikeluarkan. Selain menggunakan bantuan ventilator dan manual hyperinflation, bisa dilakukan postural drainage untuk membantu memindahkan sekresi dari saluran pernafasan yang distal ke yang lebih proksimal. Untuk membersihkan sekresi dari saluran pernafasan, penderita harus mampu batuk, atau bila tidak harus dilakukan suction.

Selama melakukan postural drainage, haruslah diwaspadai tanda-tanda gangguan otonomik, seperti kecepatan nafas permenit, nadi permenit, atau saturasi penderita agar selalu dalam batas normal. Jelaslah bahwa melatih batuk sejak dini sangatlah diperlukan untuk meningkatkan kemampuan pembersihan saluran pernafasan. Hal ini biasanya bisa terlaksana pada fase ke-dua, ketika otot-otot pernafasan mulai menguat. Atau pada fase pertama bila kelemahan otot-otot pernafasan masih mampu menghasilkan batuk, sehingga latihan batuk berguna untuk mempertahankan kekuatan otot.

3.2.3. Penatalaksanaan pada Gangguan Menelan
Jika terjadi juga gangguan menelan, maka resiko infeksi dada semakin tinggi. Oleh karena kemungkinan masuknya benda asing ke saluran pernafasan menjadi lebih besar. Benda tersebut kemudian akan menjadi sumber infeksi dada. Dalam hal ini ada dua masalah dalam sistem respiratori, yakni benda itu sediri, dan sekresi yang berlebihan akibat adanya benda asing yang masuk ke saluran pernafasan. Bila kemampuan pasien untuk batuk kuat, maka pasien mampu mengeluarkan benda asing dari saluran pernafasan dan membersihkan sekresi. Sayangnya, biasanya gangguan menelan disertai kelemahan otot pernafasan, sehingga penderita tidak mampu batuk.

Namun penderita dengan gangguan menelan biasanya menerima makanan melalui slang yang langsung masuk ke lambung, sehingga tidak perlu dikawatirkan akan masuk ke saluran pernafasan. Pada fase pertama tidak banyak fisioterapi yang bisa dilakukan. Tetapi pada fase ke dua program fisioterapi yang bisa diberikan adalah segera memberikan latihan batuk, bila otot-otot pernafasan sudah bertambah kuat. Sehingga pada saatnya penderita belajar menelan, resiko masuknya benda asing ke saluran pernafasan sudah teratasi.

3.3. Penatalaksanaan pada Problem Saraf Otonomik
Seperti disebutkan diatas, gangguan saraf otonomik akan timbul, bila kehancuran selaput myelin mencapai tingkat thoracal atau lebih tinggi, yakni cranial nerves. Pada umumnya gangguann saraf otonnomik tersebut adalah hal yang perlu dicermati dalam melakukan tindakann fisioterapi. Gangguan-gangguan tersebut antara lain labilnya tekanan darah, keluarnya keringat tidak sesuai keadaan, atau postural hipotensi. Gangguan-gangguan tersebut akan mejadi masalah, biasanya pada waktu mobilisasi. Pada waktu mobilisasi, misalnya dari berbaring ke duduk, tubuh memerlukan berbagai adaptasi, oleh karena terjadi perbedaan pengaruh terhadap tubuh.

Tanpa gangguan saraf otonomik pun, seseorang yanng berbaring lama memerlukan waktu untuk beradaptasi terhadap tekanan darah. Adaptasi tersebut teratasi oleh karena pusat pengaturan tekanan darah mendapatkan input, kemudian tekanann darah meningkat atas pengaruh saraf otonnom. Bila terjadi gangguan saraf otonnomik, maka adaptasi tersebut akan terganggu.

Maka, dalam memberikan tindakan fisioterapi harus selalu dicermati tekanan darah dari waktu ke waktu. Oleh karena yang diukur adalah tekanan darah, maka yang dijadikan aturan adalah tekanan darah. Bila memungkinkan digunakan spirometer elektronik yang terus bisa dimonitor setiap saat. Disamping tekanan darah, bisa dicermati kemampuan komunikasi penderita, atau warna muka sebagai indikator tekanan darah.

3.3. Penatalaksanaan pada Problem Sensasi
Problem sensasi pada penderita GBS yang muncul adalah rasa terbakar, kesemutan, rasa tebal atau nyeri. Tidak banyak yang bisa dilakukan untuk mengurangi ketidaknyamanan akibat rasa tebal, rasa terbakar, atau kesemuta. Secara teori rasa nyeri bisa dikurangi dengan pemberian TNS. Rasa nyeri bisa disebabkan murni oleh karena gangguan sensasi.

Tetapi nyeri pada punggung mungkin juga disebabkan oleh kurangnya gerakan pada sendi-sendi tulang belakang. Bila sesudah peregangan sendi-sendi tulang belakang beserta otot-otot disekitarnya, rasa nyeri berkurang, maka rasa nyeri tersebut disebabkan oleh kurangnya gerakan. Tetapi bila rasa nyeri tersebut tidak hilang, maka gangguan tersebut disebabkan oleh gangguan sensasi. Seringkali rasa nyeri yang timbul karena kombinasi
keduanya.

Jadi bila sesudah peregangan rasa nyeri berkurang, tetapi tidak hilang sama sekali. Bila rasa nyeri disebabkan oleh kuranngnya gerakan sendi, tindakan yang bisa dilakukan adalah peregangan lebih lanjut, atau lebih spesifik bisa dilakukan manipulasi atau mobilisasi pada tulang belakang tertentu. Selain ketidaknyamanan, rasa tebal juga bisa menimbulkan komplikasi, yaitu dekubitus.

Rasa tebal menyebabkan penderita tidak dapat merasakan tekanan kasur pada penonjolan-penonjolan tulang, sehingga memungkinkan terjadi lecet dan akhirnya dekubitus. Oleh karenanya perubahan posisi harus selalu dilakukan sebagai usaha pencegahan. Idealnya perubahan posisi dilakukan setiap 2 jam, dan setiap penonjolan tulang harus selalu mendapat perhatian.

CONTOH KASUS
Nn. Y, 17 tahun, datang ke RS A setelah dirawat 11 hari di RS lain. Dia datang dengan diagnosa GBS, dan gangguan fungsi kardiopulmonari yang menonjol, disamping fungsi motoriknya. Hasil foto rongent menjelaskan adanya atelektasis pada segmen lobus atas dan lobus tengah kanan. Fungsi motorik pada anggota atas memerlukan bantuan untuk bergerak, sedangkan anggota bawah plegi. Di RS A penderita dirawat di ruang ICU 14 hari dengan bantuan ventilator via lubang tracheostomy untuk bernafas, dan 3 hari lepas lepas ventilator dengan masker oksigen untuk memaksimalkan saturasi.

Setelah itu Nn. Y dirawat di ruangan selama 18 hari. Meskipun formal program fisioterapi dimulai minggu ke-2, sebenarnya programnya telah dilaksanakan perawat, seperti posisioning, manual hyperinflation, sehingga foto rongent yang dilakukan ulang 5 hari berikutnya sudah menunjukkan tidak ada kelainan di paru. Dengan demikian program fisioterapi yang dilakukan ditekankan pada problem muskuloskelettal, karena dalam pemeriksaan tidak ditemukan gangguan sensasi.

Program fisioterapi dimulai dengan dengan memberikan latihan aktif asistif pada anggota atas dan pasif pada anggota bawah. Hari ke 11 fisioterapi, program ditingkatkan dengan mobilisasi setengah duduk. Pada saat itu sudah ada peningkatan kekuatan otot-otot anggota bawah (2 minus). Pada akhir minggu ke-3 pemberian fisioterapi, kekuatan otot-otot tungkai sudah 3. Penderita sudah mampu duduk di toilet.

Awal minggu ke-4 fisioterapi dilakukan digimnasium dengan bantuan alat-alat, seperti over head pulley dan suspension, disamping juga dilakukan koreksi duduk. Hari berikutnya ditingkatkan dengan restorator kemudian quadricep bench. Pada akhir minggu ke-4 fisioterapi penderita sudah berangsur-angsur belajar berdiri, berjalan di paralel bar, berjalan dengan walker, dan berjalan dengan bantuan pegangan tangan.

Penderita menjalani fisioterapi selama 4 minggu dan pulang dengan berjalan dengan bantuan pegangan tangan. Selama fisioterapo diberikan, tracheostomy tetap terbuka, kanul dilepas hari terakhir penderita di RS.IV.

Kesimpulan Guillain Barre Syndrome (GBS) adalah salah satu penyakit demyelinating Yang menyerang susunan saraf tepi, pada umumnya saraf motorik tetapi mungkin juga saraf sensorik dan otonomik. Serangan GBS biasanya mengikuti infeksi saluran pencernaan, sehingga diduga akibat dari gangguan sistem kekebalan tubuh. Keparahan gejala GBS tergantung dari tingginya akar saraf yang terserang. Semakin tinggi yang terserang, maka gejalanya semakin parah. Sebaliknya semakin rendah yang terserang, maka gejalanya semakin ringan.

Berdasarkan gejala yang timbul, dapatlah disimpulkan ada 4 problem utama dalam penatalaksanaan fisioterapi pada kasus GBS, yakni problem muskuloskeletal, kardiopulmonari, sensori dan gangguan sistem saraf otonomi.

Disamping itu, berdasarkan tahap penyembuhan pasien dengan GBS, ada 2 tahap penatalaksanaan fisioterapi pada GBS, yakni fisioterapi pada tahap awal dan lanjut. Pada tahap awal - ketika waktu gejalanya memburuk hingga berhenti - fisioterapi ditujukan pada pemeliharaan fungsi dan kondisi. Pada tahap ini problem kardiopulmonari dan muskuloskeletal menjadi perhatian utama.

Fungsi ventilasi paru harus tetap dijaga, sehingga fungsi tubuh juga dapat optimal. Selain itu luas gerak sendi, panjang otot, dan kekuatan sendi harus tetap dipelihara, sehingga pada saatnya ada peningkatan kondisi fungsi muskuloskeletal bisa segera difungsikan. Tidak banyak yang bisa dilakukan untuk problem sensorik selain mencegah terjadinya dekubitus.

Gangguan sistem saraf otonomi biasanya belum menjadi problem bagi fisioterapis pada tahap ini, karena biasanya belum dilakukan mobilisasi. Pada tahap ini kerjasama dengan perawatan sangat diharapkan.Sedangkan pada tahap akhir - ketika kondisi pasien sudah membaik - fisioterapi ditujukan pada peningkatan fungsi. Yang menjadi perhatian utama adalah problem muskuloskeletal, yakni peningkatan kekuatan otot.

Dengan demikian diharapkan akan ada peningkatan fungsi secara maksimal. Selain itu fungsi paru juga harus tetap ditingkatkan untuk mendukung peningkatan aktivitas dan metabolisma. Bila ada gangguan sensorik, harus juga dilakukan tindakan untuk meningkatkan fungsi sensori.

Selama pemberian tindakan fisioterapi, selalu diperhatikan toleransi pasien terhadap perubahan posisi. Selain pasien yang sudah lama berbaring, gangguan sistem saraf otonomi akan lebih menghambat program mobilisasi.Dengan tidak mengurangi pentingnya pengobatan pada tahap lanjut, keberhasilan penanganan pada kasus Guillain Barre Syndrome (GBS) secara menyeluruh sangat tergantung pada perawatan tahap awal. Hal ini didukung oleh kenyataan bahwa prognose penderita GBS adalah baik.

Oleh karenanya kerja sama yang baik tim medik pada tahap ini akan menentukan hasil akhir kondisi pasien, termasuk diantaranya penatalaksanaan fisioterapi pada tahap lanjut yang akan mengembalikan penderita pada fungsi sosial seperti semula.